♢
Setelah sesi curhat di rooftop kita bertiga turun ke bawah. Sesi curhat itu berlangsung lumayan lama. Dari kejauhan aku bisa melihat justin dan jason sedang berbicara. Aku, lia dan cam mendekat secara perlahan lalu bersembunyi di balik tembok pembatas. Kami menguping pembicaraan justin dan jason.
"Gue peringatin sekali lagi jus, jangan buat gue emosi." Ucap jason datar. Tuhkan bertengkar lagi, batinku.
"Siapa yang buat lo emosi? Lo sendiri kan? Gue gak pernah ikut campur urusan lo. So, lo jangan ikut campur urusan gue." Ucap justin tak kalah datar.
"Gue memang gak mau ikut campur urusan lo tapi kali ini lo keterlaluan. Jangan jadiin lia pelampiasan lo!" Ucap jason tajam. Lia? Pelampiasan? Apaan sih?.
"Gue gak pernah bilang kalo lia cuma pelampiasan. Sejak kecil lo dan arnold tau gimana perasaan gue ke lia. Lo dan arnold tau kenapa gue berubah waktu arnold kenalin adik kecilnya dan lo juga tau alasan kenapa arnold benci sama lo. So, jangan sok lo orang yang paling bener disini." Ucap justin santai tapi tajam.
"Jus, gue capek jadi musuh banyak orang bahkan sekarang saudara kembar gue pun jadiin gue musuhnya." Ucap jason frustasi.
"Lo emang cocok jadi musuh karena lo gak akan pernah cocok jadi lawan." Ucap justin yang membuat jason menghembuskan nafas kasar.
"Terserah lo jus, gue capek berhadapan sama lo. Gue capek harus ngerasain perasaan lo. Seandainya aja lo bukan kembaran gue!" Ucap jason tajam. Justin tertawa mengejek.
"Seandainya aja gue bisa mutus ikatan kembar diantara kita. Jadi gue gak perlu repot-repot ngerasain kalo lo kenapa-kenapa. Gak perlu repot-repot merasakan sakit kalo lo sakit. Seandainya gue gak terlahir menjadi kembaran lo, hidup gue gak akan serumit ini!" Ucap justin tak kalah tajam.
"ENOUGH!" Suara bariton khas papa terdengar. Aku melotot sambil menoleh ke arah lia dan cam. Kami bertiga berlari kearah belakang dan langsung berjalan menuju tempat justin dan jason.
"Kalian berdua memang tidak mengerti ucapan papa hah?!" Papa marah. "Pa, sudah-sudah." Ucap mama menenangkan papa. Aku berdiri diantara justin dan jason. Selalu posisi ini jika papa marah.
"Belle, kemari. Jangan berada diantara dua anak lelaki ini!" Teriak papa. Aku menggeleng. Aku tidak pergi kemanapun karena menurutku papa tidak akan membentak mereka jika ada aku. Papa menghela nafas pelan lalu duduk. Tuh kan benar. Kalian berdua berterima kasihlah padaku, batinku sambil menatap mereka bergantian. Mereka tersenyum dan mengelus kepalaku.
"Camile." Ucap papa. Kita semua langsung menoleh ke arah papa yang menatap tajam camile.
"Pa ini gak ada urusannya sama camile." Ucap justin dan jason berbarengan. Papa menatap mereka sambil menaikkan alisnya sebelah.
"Sebegitukah kalian berdua mencintainya?" Tanya papa. Justin menolehkan kepala ke mama sedangkan jason menatap papa.
"Pa, camile gak ikut-ikut. Masalahku sama justin sudah ada sejak dulu. Hanya saja camile datang dan membuatnya semakin rumit." Jelas jason. Papa menatap tak percaya jason.
"Duduk." Ucap papa. Aku dan lia langsung duduk. Lia yang sudah mengenal papaku lama langsung menurut. Papa menghadapku dan lia lalu tersenyum. Aku dan lia balas tersenyum. Sedangkan mereka bertiga tidak duduk malah menatap papa.
"Kalian tidak mengerti apa yang papa ucapkan?!" Bentak papa. Aku hanya memejamkan mata. Sungguh hal yang paling tidak ingin aku lihat adalah papa MARAH. Kenapa mereka tidak mau duduk saja sih?!! Geramku dalam hati. Seketika camile sudah berada di sebelahku, justin berada disebelah lia dan jason berada disebelah cam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Destiny
RomanceWhen the love that you believe it makes you hurt and loss. When a very beautiful love turn into a complicated. When destiny unite .. destiny also separates And if destiny was real? What would you do? Accept it or Change it?