16

237 11 0
                                    

Revalda turun dari mobilnya dan masuk di sebuah apartement milik sahabatnya, kali ini ia akan berkumpul dan bersantai dengan sahabatnya di apartement ini.

Revalda melirik jam di pergelangan tangannya. Ia sudah sangat telat, sudah sedari tadi teman-temannya itu menelfon. Revalda sedikit berlarian kecil untuk masuk kedalam apartement untuk menyingkat waktu.

"Iya, iya kalian ngga usah bawel. Ini gue mau naik lift kok, bye." Potong Revalda saat andin menelfon. Setelahnya ia memutus sepihak pembicaraannya dalam telfon.

TING! Bunyi lift menyadarkan Revalda untuk cepat masuk kedalam lift. Lift itu kosong dan hanya berisi dirinya saja. Saat pintu lift hampir saja tertutup, Revalda melihat ada sebuah tangan besar yang menyela dan memaksa agar kedua pintu lift itu terbuka dan mampu memberikan ia tempat untuk sampai di tujuannya. Revalda mendongak untuk melihat siapa yang akan menjadi temannya untuk sampai di lantai 28 itu.

Revalda mendongak dan seketika nafasnya tercengang, ia mendapati wajah seseorang yang sangat sangat ingin ia hindari, Eval. Eval masuk kedalam lift bersamaan dengan Revalda yang memundurkan kakinya beberapa langkah kebelakang, kakinya berhenti mundur ketika tubuhnya merasa menabrak dinding lift. Tak banyak yang dapat ia lakukan kecuali menyandarkan tubuhnya yang hampir saja terjatuh karena bertemu dengan sosok orang yang sedang ingin ia hindari.

Revalda tersenyum miris, rasa-rasanya baru kemaren ia bersandar di dalam punggung lebar laki-laki itu. Tapi sekarang, hubungan mereka jauh lebih buruk yang ia bayangkan. Bahkan sekarang mereka berdua tidak saling menyapa.

TING! Pintu lift terbuka lagi, kali ini muncul sekitar empat sampai lima orang laki laki di tambah dua orang perempuan masuk kedalam lift. Revaldapun merasa terjepit karena banyaknya laki-laki yang berbadan besar berada di dalam lift bersamanya. Tapi ada yang aneh dalam terjepitnya Revalda, ia sama sekali tidak merasakan terhimpit oleh laki-laki asing, dia lebih merasa terhimpit oleh seseorang yang sudah ia kenali bersamaan dengan itu Revalda merasa ada tangan besar yang membungkus tangan kecilnya. Sesekali tangan besar itu memutarkan ibu jarinya di punggung tangan Revalda.

Mungkin Revalda tidak bisa melihat wajah laki-laki yang sudah berani memegang tangannya itu, tapi jauh dalam lubuk hati Revalda dia tau siapa tangan besar yang sudah membungkus tangannya dan juga sudah menjadikan punggungnya sebagai tameng agar dirinya tidak terhimpit oleh padatnya pengguna lift saat ini. Mata Revalda terpejam, hati dan otaknya saat ini sedang bertengkar hebat dimana hatinya ingin tetap merasakan genggaman tangan ini tetapi otaknya menolak, dia menolak meski dia sangat merindukan laki-laki itu.

Jangan jadi lemah lagi Ra, jangan biarin dia nyakitin lo lagi.

Perang kali ini di menangkan oleh otak Revalda, ia berusaha melepaskan genggaman tangan Eval, namun bukan Eval namanya yang membiarkannya begitu saja, ia tetap menggenggam tangan Revalda.

"Maaf pak, boleh bapak maju sedikit. Pacar saya terhimpit di belakang." Ucap Eval sopan, Revalda membelalakan matanya, siapa yang Eval maksud sebagai pacar? Dia kah, tapi bagaimana mungkin. Tapi kalau bukan dia siapa lagi perempuan yang dikenal Eval di lift ini selain dia.

"Oh maaf nak, saya tidak tahu. Pantas saja kamu berdiri seperti itu, ternyata untuk melindungi pacarmu." Ucap bapak-bapak yang di ajak bicara Eval tadi. Eval tersenyum menanggapi bapak-bapak tadi, setelahnya bapak itu menggeser tubuhnya agar sedikit memberikan ruang untuk Revalda.

Untuk beberapa saat Revalda tertegun, dia masih Eval yang sama, dia masih Evalnya Ara yang dulu, Eval yang selalu melindunginya bagaimanapun keadaannya, bahkan disaat seperti ini Eval masih saja melindunginya. Bukankah seharusnya Eval tidak perduli lagi dengannya karena sudah memiliki Wilona? Revalda menghembuskan nafasnya kasar, rasa-rasanya untuk mengingat nama Wilona masih terasa sakit di relung hatinya.

Rain AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang