1

14.8K 676 16
                                    

Reina bingung ketika melihat rekan-rekannya sibuk berbisik satu sama lain. Ia sedikit tersinggung dan mengambil kesimpulan bahwa dirinyalah yang sedang dijadikan bahan gosip.

Beginilah kalau jadi anak baru, selalu siap diomongin. Reina mengeluh dalam hati.

Gadis itu menunduk, memperhatikan seragam pink yang dikenakannya. Logo bayi dalam bedong yang diikuti nama Yayasan Kasih Bunda Setia membuatnya semakin yakin bahwa ini bukanlah mimpi.

Reina meringis, mengingat betapa anjloknya karir yang dibangunnya susah payah, dengan mudah dihancurkan oleh si keparat Aditia - mantan bosnya di perusahaan sawit tempatnya bekerja dulu. Jika saja ia tak menendang bagian vital Aditia saat pria itu mengundangnya ke hotel, dengan alasan untuk bertemu klien di restoran rooftop, mungkin ia masih duduk manis di depan komputer sembari sibuk menjawab telepon dari bosnya itu.

Celakanya, Aditia benar-benar murka dan memblokir jalan karirnya di perusahaan lain. Entah karena pengalamannya sebagai sekretaris selama tiga tahun tak cukup meyakinkan perusahaan yang dilamarnya atau memang benar pria itu memiliki kemampuan memblokir langkah karirnya - seperti yang diucapkannya kala itu - yang pasti kenyataannya adalah ia kini berakhir menjadi seorang baby sitter yang baru lulus masa training.

Tidak ada pilihan kecuali melamar ke Yayasan Kasih Bunda Setia. Sebab ia sudah tiga bulan menganggur sementara kebutuhan sehari-hari harus tetap dipenuhi. Belum lagi adik semata wayangnya sebentar lagi akan kuliah.

"Reina," panggil Bu Sri, ketua Yayasan.

Reina terkejut. Jantungnya berdegup kencang. Ini pertama kalinya ia mengikuti seleksi pemilihan baby sitter oleh calon majikan.

Gadis itu menarik napas dalam-dalam kemudian menghelanya perlahan. Ia melakukannya beberapa kali sampai Tika - baby sitter yang baru saja selesai diwawancarai - keluar dari ruangan Bu Sri.

Reina mengerutkan dahinya ketika melihat semburat malu-malu terbit di wajah Tika. Perempuan itu lalu menghampiri Rani, teman baiknya.

"Aduh... itu Bapak, cakep banget!" bisik Tika kegirangan, namun suaranya mampu didengar seisi ruang tunggu tersebut, termasuk Reina yang kini bersiap bangkit dari bangku dan melangkah masuk.

***

Tika memang tidak berbohong. Reina mengakui bahwa pria yang kira-kira berusia tiga puluh tahunan itu memang terlihat tampan. Rahangnya tegas, hidungnya mancung. Sorot mata yang tajam, begitu mengintimidasi lawan bicaranya. Sesekali ia menyipitkan mata, seperti tengah mencari tahu kebenaran dari yang didengar.

Seperti ketika Bu Sri mempromosikan kemampuan Reina di depan pria yang bernama Tristan.

"Sejak tadi, Bu Sri terus mempromosikan kemampuan semua anak buah Anda. Tapi, saya tidak merasa ada yang spesial dari penjelasan Anda tentang masing-masing baby sitter yang ada."

Bu Sri tergagap. Segera wanita paruh baya itu membenarkan posisi sanggulnya. Kemudian berdeham.

"Oh, kalau Reina, walau baru menyelesaikan training, tapi pada dasarnya dia punya pengalaman mengurus adik bungsunya." Bu Sri kemudian melirik Reina, memberi kode pada gadis itu untuk membenarkan pernyataannya.

Reina tergagap. Dengan cepat, ia mengangguk. "Y-ya, saya pernah mengurus adik bungsu saya sejak dia bayi."

Tristan tampak berpikir sambil mengelus dagunya yang licin karena tadi pagi baru cukuran. Pria itu memperhatikan Reina dengan saksama. Membuat gadis itu salah tingkah dibuatnya.

Mr. SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang