11

8.4K 573 10
                                    

Reina berlari tergopoh-gopoh memasuki rumah sakit. Pikirannya kalut. Seumur hidup, Reina tak pernah mendengar ibunya masuk rumah sakit. Ini pasti ada hubungannya dengan sakit yang selama ini dideritanya. Sepanjang perjalanan dari Pontianak ke Singkawang, ia terus merutuki keegoisannya.

Apa cinta lebih penting daripada keselamatan Mama? Batinnya terus berperang.

Reina tak ingin segalanya terlambat. Ia tidak mau kehilangan ibunya, seperti mereka telah kehilangan ayah dan Reno.

"Saya sudah memikirkannya," ucap Reina tiba-tiba. Memecah bisu yang sedari tadi menyelimuti mereka.

Mau tak mau, Tristan menoleh sejenak. Memandang Reina dengan tatapan bingung, kemudian kembali fokus pada jalanan Sungai Pinyuh yang terlihat cukup ramai. Bahkan ketika tadi mereka singgah di sebuah warung kopi untuk istirahat, Reina masih membisu. Tak lama setelah mobil kembali melaju, gadis itu bersuara.

"... Saya mau menikah dengan Pak Tristan," ucapnya dengan suara rendah.

Akhirnya ia mengatakannya! Dada Reina sesak tak tertahankan. Matanya terpejam sambil menarik napas dalam-dalam lalu menghelanya perlahan. Semoga ia tak salah ambil keputusan.

Sementara itu, Tristan yang terkejut, secara spontan langsung menyalakan lampu sein ke kiri lalu menepikan mobil. Ketika mobil telah berhenti, pria itu langsung memiringkan tubuhnya, menghadap Reina yang duduk di sisi kirinya.

"Kamu yakin?" tanyanya.

Reina terdiam sejenak. Tak lama, ia mengangguk.

"Kamu tahu, tidak ada kata mundur setelah kita sepakat."

"Ya." Reina menjawab singkat. "Saya harap Pak Tristan menepati janji untuk mengurus biaya pengobatan Mama dan kuliah Renny."

Tristan tersenyum kecil. Ada sebuah kelegaan terselip di sana. Soal permintaan Reina, bukan hal sulit baginya. Dalam hati, ia berjanji akan memberi kemewahan apapun asal Reina bisa menjadi ibu yang baik bagi Liam. "Tentu saja," jawabnya penuh keyakinan.

Kini, ketika mereka sampai di rumah sakit, Tristan berharap ibu Reina baik-baik saja. Ia berjanji akan memberikan fasilitas pengobatan terbaik untuk calon mertuanya.

"Ma!" pekikan Reina membuat Tristan tersadar bahwa mereka akhirnya telah tiba di UGD.

"Reina?" Bu Marina terlihat bingung melihat putri sulungnya. Wajahnya yang pucat terlihat mengerutkan dahi, sambil kakinya sedang dipijat Renny. Bau minyak kayu putih masih membekas di tubuhnya.

"Ma!" seru Reina lagi sambil memeluk ibunya erat.

Renny yang tengah memijat kaki ibunya langsung bangkit berdiri. "Kak Reina beneran datang?"

"Mama nggak apa-apa? Di mana yang sakit?" tanya Reina sambil memeriksa sekujur tubuh ibunya.

Bukannya menjawab Reina, Bu Marina lantas menjewer Renny. "Pasti kamu yang telepon kakakmu!"

"Aduh... Aduh... Ma... Renny cuma ngabarin Kak Reina. Mana tahu kalau dia beneran datang." Renny mengaduh kesakitan. Ibunya memang selalu mengingatkannya untuk tidak melapor kondisinya pada Reina. Bu Marina tidak ingin membuat putri sulungnya itu khawatir. Lihat saja sekarang, gadis itu sampai melesat bak anak panah ke Singkawang, menempuh lebih dari dua jam untuk menegoknya.

"Mama nggak apa-apa, kok. Cuma kecapekan saja. Renny yang terlalu membesar-besarkan."

"Syukurlah," desah Reina lega. "Jadi, kapan Mama bisa pulang?"

Bukannya menjawab, mata Bu Marina menangkap sosok pria bertubuh tegap di belakang Reina. Kepalanya sedikit dimiringkan untuk melihat pria itu.

"Kamu datang sama siapa, Na?" tanya Bu Marina.

Mr. SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang