6

11.3K 633 19
                                    

Tiga minggu lagi Liam akan berulang tahun yang pertama. Seperti orangtua pada umumnya, Tristan pun ingin merayakan ulang tahun puteranya itu. Tetapi ulang tahun Liam berarti juga hari kematian Hani, istri tercintanya. Sebuah peringatan yang menyakitkan. Kebahagiaan dan kehilangan yang terjadi di waktu yang sama.

Tristan mengembuskan napas berat sembari menerawang ke langit-langit kamar. Ia masih mengingat jelas bagaimana kebahagiaannya melambung tinggi begitu melihat bayi mungil yang telah dinantinya selama sembilan bulan keluar dari rahim istrinya. Setitik air mata haru menetes kala itu, disertai senyum penuh kebanggaan melihat bayi dengan berat 3,28 kilogram yang masih berlumur darah itu kemudian dibawa oleh seorang perawat untuk dibersihkan. Namun, tak sampai lima menit kebahagiaan itu berlangsung, tiba-tiba saja Hani mengalami perdarahan parah.

Kebahagiaan yang melambung ke puncak awan, tiba-tiba saja runtuh bak gempa berkekuatan dahsyat.

"Hani..." bisik Tristan pada angin. Matanya masih saja menerawang.

Tristan mengingat-ingat wajah oval dengan kulit putih bersinar istrinya. Matanya yang bening, hidungnya yang mungil, dan bibirnya yang lembut. Pria itu memejamkan matanya sambil menarik napas perlahan, seakan sedang menghirup wangi sampo dari rambut Hani.

"Aku kangen kamu, Hani." Tristan berbisik lagi pada angin.

Ia menoleh pada Liam yang telah lelap di sisi kirinya. Kedua sudut bibirnya terangkat begitu memandang wajah menggemaskan puteranya itu. Tristan memanjangkan tangannya, menyentuh rambut lebat Liam dengan hati-hati lalu mengecupnya dengan sayang.

"Terima kasih karena telah memberiku Liam," lanjutnya.

Hening kembali menyusup. Tristan membiarkan sayup-sayup suara jangkrik di luar sana yang mengisi kesunyian di kamarnya.

Kemudian, ia kembali mengingat perihal ibunya. Dua hari yang lalu, Bu Tanti menelepon untuk memastikan Tristan menggelar pesta ulang tahun untuk cucu pertamanya itu. Dengan penuh semangat, ibunya berkata akan langsung ke rumah Tristan setelah pulang dari Singapura untuk check up kesehatan. Bu Tanti bahkan telah menyiapkan daftar nama tamu yang ingin diundangnya.

***

Hari-hari berlalu cepat. Walau Tristan sebenarnya lebih memilih untuk merayakan ulang tahun Liam dengan acara makan keluarga secara sederhana kemudian mengunjungi makam istrinya, namun ia tak kuasa menolak keinginan ibunya.

Kendati beliau tak jadi pulang lebih awal karena masih ada urusan di Singapura, namun Bu Tanti memastikan akan pulang pada hari H dan meminta Tristan menyiapkan segalanya.

Dan, hari itu akan tiba besok. Segala keperluan pesta diserahkan pada event organizer. Tristan cukup terbantu dengan masukan dari Reina mengenai konsep acara dan berbagai detail orderan untuk dekorasi, makanan, dan souvenir. Sebab ia sama sekali tidak paham tentang hal seperti itu.

Tristan berjalan pelan menuju kamar Liam sembari melonggarkan dasi dan membuka kancing atas kemeja birunya. Sudut bibirnya terangkat begitu mendengar teriakan senang dari Liam diikuti suara auman singa yang ditirukan oleh Reina. Tak lama, mereka cekikikan bersama. Tristan menebak-nebak, mungkin Reina tengah mengelitiki Liam.

Tristan memutar kenop pintu dengan perlahan, tak ingin kehadirannya diketahui oleh Reina dan Liam. Lagi-lagi pria itu tersenyum mendapati pemandangan yang menyejukkan hatinya. Ada kelegaan luar biasa ketika melihat tawa lepas Liam.

Sejak kematian Hani, Tristan selalu dihantui perasaan cemas berlebih. Takut jika ia tak mampu menciptakan kebahagiaan untuk puteranya. Khawatir Liam akan tumbuh menjadi anak yang pemurung karena tak mendapatkan kasih sayang seorang ibu.

Mr. SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang