16

7.3K 382 12
                                    

Reina membalikkan tubuhnya ke kiri, berusaha mencari posisi yang nyaman untuk tidur. Sudah lebih dari setengah jam ia bergulingan tak jelas.

Ia gelisah.

"Minggu ini kita ke Jungkat mengunjungi mamaku. Sekalian untuk mengurus segala persiapan lamaran ke Singkawang nanti."

Gadis itu kembali teringat akan kalimat Tristan. Membuatnya kembali menggigil. Reina tahu, cepat atau lambat, ia tetap harus melakoni peran sebagai pengantin.

Tetapi, rasanya ia masih belum rela melepas masa lajangnya.

Reina bangkit duduk bersandar pada ranjang. Matanya menerawang. Ditekuknya kedua lutut kemudian memeluknya erat.

Tiba-tiba saja ia kembali teringat akan kejadian sore tadi. Tentang Aditia dan Hendra.

"Kalau saja aku nggak mengiyakan lamaran Tristan, mungkin aku akan menyukai Hendra." Ia bergumam pelan.

Kemudian gadis itu tersenyum getir. "Apa ada pilihan untukku?" tanyanya pada diri sendiri. Reina menggelengkan kepalanya. "Nggak ada, Reina." Ia menjawabnya.

***

1995

"Hei, gendut!  Minggir kau! Bikin sempit aja!" seru seorang anak laki-laki berkulit hitam. Ia mengenakan seragam putih-merah dengan label nama yang menempel di dada kirinya bertuliskan "Adi Pratama"

"Iya nih! Udah tau gendut, ya jalannya mepet dinding aja. Kasih yang lain buat lewat," tambah seorang lagi bernama Ryan yang bermata sipit.

Anak perempuan berambut pendek itu menoleh. Tak lama ia menunduk lalu berlari ke bawah pohon akasia yang tak jauh dari lapangan bulu tangkis. Napasnya menderu hingga kedua bahunya naik turun. Ia begitu marah. Kesal. Tetapi tidak dapat berbuat apapun selain diam. Membiarkan teman-teman sekelasnya mengejek tubuh tambunnya itu.

Sambil menahan air mata, anak perempuan itu menghabiskan kotak bekalnya di bawah pohon akasia.

"Hai, boleh gabung?" tanya seorang anak laki-laki sambil memegang kotak bekalnya.

Anak perempuan itu mendongakkan kepala, mencari tahu si makhluk langka yang berbicara padanya. Seingatnya, sejak naik kelas empat, ia mulai dihindari teman-temannya. Sejak berita tentang ibunya ditangkap polisi dalam kasus perjudian beredar, satu persatu temannya menjauh.

Anak perempuan itu memiringkan kepalanya. Dahinya berkerut.

'Dia kan si anak baru. Ngapain ke sini?' pikirnya.

"Namaku Tristan," kata si anak laki-laki sambil menyunggingkan seulas senyum ramah. Ia memperkenalkan diri tanpa diminta.

"Ya, tadi kan kamu udah perkenalkan diri di kelas," sahutnya.

"Namamu Sophie?" ujar Tristan setelah membaca label nama di seragam anak perempuan itu.

Sophie tidak menjawab. Ia kembali sibuk dengan kotak bekalnya, tanpa memedulikan Tristan yang berdiri canggung di sebelahnya.

"Boleh gabung di sini?"

"Terserah."

Tanpa ragu, Tristan langsung duduk di sebelahnya. "Kamu pinter cari tempat ya. Makan di sini lebih asik daripada di kelas atau kantin."

Sophie hanya diam.

***
2017

Sophie termenung sambil menatap ke luar jendela kamarnya. Hujan gerimis yang membasahi rumput gajah di halaman rumah itu membuatnya tersenyum kecil. Ia ingat, setelah percakapan pertamanya dengan Tristan, mereka mulai akrab. Gerimis mengingatkannya pada kenangan saat mereka berlari menerobos hujan dari sekolah sampai terminal angkot.

"Sampai sekarang kamu bahkan nggak mengenali aku," gumamnya sembari terkekeh kecil.

Sophie beranjak mendekati meja nakas, mengambil cangkir berisi teh hangat lalu menyesapnya pelan. Gadis itu duduk di tepi ranjang kemudian memejamkan kepalanya. Ia sedang mengenang masa ketika dirinya kembali bertemu Tristan saat kuliah di Sydney.

Berkat diet ketat, Sophie berhasil membentuk tubuhnya seperti sekarang. Membuat Tristan tak mengenalinya sama sekali. Sophie pun tak ingin mengungkap jati dirinya. Ia malu mengakui masa lalunya yang kelam. Ia ingin dikenal sebagai Sophie yang penuh percaya diri.

"Dulu aku nggak bisa miliki kamu, kali ini aku nggak akan mengalah lagi."

***

Author:

Halo readers, maaf lama baru update... Dan sekali update malah pendek banget 😂

Selamat hari raya idul fitri 1438 H
Mohon maaf lahir dan batin =)

Mr. SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang