Reina membuka matanya perlahan dan menguceknya dengan malas. Kepalanya masih pening akibat kurang tidur. Dengan linglung, ia menyingkap bed cover yang menyelimutinya.
Dahi Reina berkerut.
Seingatnya, selimut di kamarnya berwarna biru muda bermotif bunga daisy putih. Mengapa yang dilihatnya justru biru tua dengan motif jangkar?
"Astaga!" Reina memekik tertahan begitu menoleh ke kanan.
Bocah kecil bernama Liam masih tertidur pulas di sisinya.
Gadis itu langsung memukul kepalanya. Mengutuk kecerobohannya kali ini.
Bukankah rencananya ia menidurkan Liam lalu memindahkannya ke kamar Tristan begitu bocah itu tertidur? Mengapa yang terjadi malah ia pun ikut-ikutan ketiduran di kamar ini?
"Matilah aku! Pak Tristan bakal pecat aku kalau dia tahu aku sudah lancang tidur di kamar ini dengan anaknya!" Reina semakin linglung. Panik bukan main.
Gadis itu semakin mengkhawatirkan nasibnya akan berakhir seperti sebelas baby sitter lainnya begitu melihat Tristan berjalan masuk ke kamar melalui connecting door. Wajahnya memucat. Tristan terlihat baru bangun juga. Matanya agak sembab karena kurang tidur.
"Pa... pagi, Pak," sapa Reina gagap seraya beranjak dari ranjang dengan hati-hati. Takut membangunkan Liam.
Tristan tersenyum kecil. Bak matahari pagi yang terbit malu-malu. Hangat - walau hanya semburat sinar minim yang mengintip dari timur.
Reina berdiri mematung di sisi ranjang lalu menunduk ketika Tristan telah berdiri tak jauh darinya. Menyisakan jarak kira-kira setengah meter.
"Ma... maaf, Pak. Saya ketiduran semalam. Saya... saya... janji tidak akan lancang seperti ini lagi... saya... saya... saya mohon, Bapak memberi saya kesempatan sekali lagi." Reina berkata cepat, walau terbata-bata. Memohon belas kasihan majikannya yang terkenal gampang memecat baby sitter.
"Tidak apa-apa." Hanya itu kalimat yang meluncur dari bibir tipis Tristan.
Ia kemudian berjalan melewati Reina dan duduk di tepi ranjang. Pria itu mengusap pelan rambut halus Liam dengan sayang kemudian mengecupnya pelan.
***
Reina berjalan cepat menuju dapur. Tak henti-hentinya gadis itu menyengir, memamerkan deretan giginya. Perasaannya seperti baru saja selamat dari lubang buaya. Reina yakin, keberuntungan tengah berpihak padanya.
Ah, apa sebaiknya memanfaatkan keberuntungan ini untuk memasang nomor togel? Siapa tahu saja bisa menang? Lumayan, jika bisa dapat uang dadakan apabila nomor yang dipertaruhkannya yang keluar. Setidaknya bisa menabung untuk biaya kuliah Renny.
Buru-buru Reina menggeleng. Ia ingat, papanya paling benci orang yang berjudi. Katanya, uang yang mudah didapatkan, akan cepat ludes. Uang panas, begitu papanya bilang. Bukannya kaya, judi membuat orang menjadi candu dan semakin mempertaruhkan uang yang lebih besar jika pernah mencicipi kemenangan kecil.
"Ya, aku nggak boleh tergoda untuk uang panas." Reina meyakinkan diri sebelum terjerumus sesat dan menelepon Acin - tetangganya di Singkawang yang merupakan bandar togel.
Reina melihat Bu Laras - kepala pembantu rumah tangga - tengah memberi perintah pada anak buahnya untuk membersihkan kaca jendela sementara dirinya kemudian melenggang ke dapur menyiapkan sarapan. Reina hendak membuntuti Bu Laras ke dapur untuk menyiapkan MPASI, mendadak langkahnya terhenti lalu membelok ke kiri - ke ruang tengah - begitu melihat Hendra yang baru tiba.
"Hen!" Panggil Reina dengan ceria.
Kala itu, di hari ketiga ia bekerja, Hendra memintanya untuk cukup memanggilnya Hendra tanpa embel-embel 'Pak' atau 'Bapak'. Dan sejak hari itu, mereka berteman baik. Hendra memang tipe pria yang ramah dan mudah bergaul.
"Kayaknya ada yang lagi senang, nih!" Goda Hendra.
"Ya, begitulah." Reina terkekeh. "Baru saja selamat dari ancaman pecat!"
***
"Hei, apa Reina sudah masuk kriteria yang kita cari selama ini, Bro?" Tanya Hendra sambil melirik sekilas Tristan di sebelahnya kemudian berfokus pada lalu lintas yang dilewatinya.
"Hm, hampir."
"Masih kurang di mana?" Selidik Hendra ingin tahu.
"Entahlah. Aku hanya perlu memantapkan keputusan. Tapi aku sudah bertanya soal statusnya." Tristan menjawab sembari menerawang. Mengingat-ingat wajah Reina yang setiap hari dilihatnya.
"Lalu?"
"Tidak ada masalah. Dia single."
Hendra menghela napas lega. Sedetik kemudian ia tertawa renyah. "Sepertinya pencarian Cinderella akan segera berakhir."
"Belum tentu. Bagaimana jika dia menolak?" Sebersit keraguan terbit di benak Tristan.
"Hahaha. Benar juga! Kurasa lebih baik kau mulai melancarkan aksi pendekatan."
"Hen."
"Sorry... sorry... Aku tahu kamu masih belum bisa melupakan Hani."
***
![](https://img.wattpad.com/cover/76445639-288-k519010.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Sun
RomanceTentang Reina yang tiba-tiba saja dilamar oleh majikannya hanya untuk menjadi ibu bagi putranya, bukan sebagai istri pria itu. Nb: cerita ini ditulis tanpa draft, tanpa jadwal kapan dipost dan juga tanpa tahu bisa selesai atau tidak. Naskah ini ditu...