12

8.1K 536 15
                                    

"Kok Pak Tristan langsung ngomong gitu ke Mama?" protes Reina seketika setelah mereka masuk ke mobil.

Tristan mengukir seulas senyum minimalis, tak langsung menjawabnya. Ia tengah berkonsentrasi memundurkan mobilnya keluar dari halaman rumah.

"Bukannya kita sudah sepakat untuk menikah?"

"Tapi... "

Reina terdiam sesaat. Seolah kehabisan kata. Mereka memang sudah sepakat, tapi Reina tak berpikir untuk memberitahu ibunya secepat itu. Lagipula, melihat kondisi ibunya yang terlihat cukup baik, Reina mulai menyesal telah gegabah menerima pinangan bosnya itu. Sempat terpikir olehnya untuk membuat alasan dan membatalkan kesepakatan itu. Toh, hanya kesepakatan secara lisan. Tetapi ia sama sekali tak terpikir bahwa Tristan akan secara jantan mengutarakan niatnya untuk melamar Reina di depan ibunya.

"Saya harap kamu menepati apa yang sudah kita sepakati."

"..."

Tristan melirik Reina yang membisu di sebelahnya. Dalam hati ia tersenyum senang, berhasil memenangkan kesepakatan dengan Reina. Ia sudah lelah bergonta-ganti baby sitter hanya untuk mendapatkan istri yang cocok untuk menjadi ibu bagi Liam.

Semoga saja Reina sungguh pilihan terbaik baginya dan Liam.

"Bagaimana kalau kita singgah ke pantai dulu?" usul pria itu, membuat Reina menoleh padanya.

***

Pantai pasir panjang adalah salah satu dari sekian pantai yang menjadi daya tarik wisata di Singkawang. Kini bahkan kota yang dijuluki kota seribu kelenteng ini memiliki sebuah kawasan wisata bernama Tanjung Bajau yang menyuguhkan pantai, puncak gunung, wisata air dan kebun binatang. Tetapi sepertinya Tristan lebih memilih wisata pantai klasik - yang hanya menyuguhkan deburan ombak - seperti Pasir Panjang ini.

Angin kencang langsung menerpa ketika Reina dan Tristan keluar dari mobil. Rambut sebahu gadis itu berkibar, membuatnya segera mengeluarkan karet hitam untuk membuat ekor kuda agar rambutnya tak makin kusut diterpa angin.

Seakan tidak memedulikan Tristan, Reina berjalan pelan mendekati bibir pantai. Mata gadis itu menatap lurus pada ombak yang berlarian kecil lalu menampar kakinya yang telanjang. Sudut bibirnya sedikit terangkat, sekelebat memori bahagia melintas di kepala gadis itu. Dulu, Papa selalu mengajak mereka sekeluarga bermain di sini setiap hari minggu. Kemudian kebiasaan itu tak lagi dilakoni sejak Papa berpulang ke surga.

Reina memeluk diri menahan dinginnya terpaan angin yang menghajarnya keras. Rambut-rambut kecil di atas dahinya bergoyang-goyang dengan gembira. Kemudian, setitik air mata jatuh membasahi pipinya. Ia tidak tahu perasaan seperti apa yang tengah dirasakannya. Rasa sesal, takut, dan penasaran bercampur aduk di dadanya. Ada setitik harapan dalam hati kecilnya yang berharap pernikahan mereka nantinya akan menumbuhkan benih-benih cinta di antara mereka.

Tetapi, apa mungkin?

Tristan bahkan dengan tegas menyebut pernikahan tersebut hanyalah untuk menjadikannya ibu bagi Liam, bukan sebagai istrinya.

"Melamunin apa?" tanya sebuah suara bariton di belakangnya seraya menyentuh bahu kanan Reina. Membuat gadis itu sedikit terlonjak kaget.

"Ah... Ng... Nggak kok, Pak." Gadis itu menjawab dengan terbata sambil berusaha menyunggingkan seulas senyum.

"Hm, cobalah untuk memanggilku Tristan," pintanya dengan suara lembut. "Rasanya aneh jika sampai menikah nanti kamu masih memanggilku 'Pak'." Pria itu menyengir kecil.

Reina terlihat salah tingkah. "T...Tristan?" lidahnya sungguh kaku untuk menyebut nama itu.

Tristan tersenyum. Sebuah senyum hangat bak mentari pagi yang baru kali ini ditujukan bagi Reina. Membuat gadis itu merasakan perutnya dipenuhi jutaan kupu-kupu yang beterbangan riang.

Dengan hati-hati, Tristan memanjangkan tangan kanannya. Ia menyentuh rambut-rambut halus di dahi Reina dengan sayang. Gadis itu mematung. Terkejut dengan perubahan sikap mantan bosnya itu.

"Terima kasih karena bersedia menerima lamaranku," katanya lembut namun terdengar jelas di tengah bisingnya angin dan ombak.

Reina menunduk, menatap jemari kakinya yang penuh pasir basah dengan salah tingkah. Tak lama, ia mengangguk. Lidahnya terlalu kelu untuk menyahut. Perubahan sikap calon suaminya itu membuatnya panas dingin. Terlalu cepat berubah hingga ia tak sempat menyiapkan antisipasi.

Tristan mengangkat dagu Reina, meminta gadis itu untuk menatap sepasang mata jernihnya. Reina panik, bola matanya berlarian tak tentu arah - asal bukan manik mata Tristan. Kini, Tristan memaksa Reina untuk menatapnya. Dengan kedua telapak tangan, ia menyentuh pipi Reina. Membuat gadis itu mau tak mau menatapnya.

"Mungkin tidak mudah untuk langsung jatuh cinta, tapi kita bisa mencobanya dari sekarang."

"..." Reina membisu. Kata-katanya hilang begitu saja seolah kamus bahasa di dalam otaknya tak mampu menemukan kata yang cocok untuk membalas kalimat Tristan.

Kini, kedua tangan Tristan berpindah ke tangan Reina. Pria itu meraih jemari kurus Reina dan menggenggamnya dengan sayang. "Cobalah untuk mulai menyukaiku. Aku pun akan mencobanya," katanya sambil menatap mata Reina dalam-dalam.

Namun, belum sempat Reina menjawabnya, tiba-tiba saja dua orang anak berlari kencang ke arah mereka. Napas Reina tertahan, tubuhnya kaku hingga tak sanggup membuat gerakan refleks menghindar. Mata gadis itu hanya bisa memejam ketika ia tahu jaraknya dengan dua anak yang berkejaran itu mendekatinya.

Secepat kilat, Tristan menarik tangan Reina dengan kuat hingga kepalanya menanduk dada bidang pria itu. Tristan terkejut, membuat pijakannya goyah. Sekonyong-konyong, keduanya ambruk. Reina memejamkan mata saat wajahnya terciprat air yang bersumber dari balik punggung Tristan. Tubuhnya menindih Tristan di atas pasir yang digenangi air sisa hempasan ombak. Lengan kanan Tristan masih melingkar di pinggang Reina.

Dalam keadaan secanggung ini, Reina segera berusaha bangkit. Namun, tampaknya Tristan dengan sengaja menahan pinggangnya.

"Pak...,"

Tristan menyunggingkan seulas senyum nakal. "Tristan." Ia meralat.

"Tristan," ucap Reina seraya kembali berusaha bangkit dari posisinya.

Tetapi Tristan lagi-lagi mempererat lengannya di pinggang gadis itu.

"Tristan, lepasin. Kan malu dilihatin orang." Reina berkata sambil menoleh kiri-kanan, mendapati seorang pria dan wanita dengan anak perempuan berusia kira-kira lima tahun yang tengah asik bermain pasir.

"Kenapa malu? Kamu kan calon istriku," katanya sembari mendekatkan jarak wajah mereka.

Napas Reina tercekat. Dimundurkannya kepala demi menghindari Tristan. Namun pria itu bergerak cepat. Lengan yang tadinya melingkar di pinggang Reina, kini telah berpindah ke leher gadis itu. Reina tak mampu menghindar. Dipejamkannya kedua mata kuat-kuat, sebagai isyarat menyerah. Sementara Tristan yang melihat tingkah Reina makin tak sabar untuk menipiskan jarak wajah mereka. Dengan hati-hati, wajah pria itu kian mendekat. Manik matanya sesekali melirik bibir Reina yang menciut.

Kemudian...

****

Author's side:

Maaf... Maaf.... Episode ini harus terpotong di adegan baper 😂

Jangan lupa follow, vote, comment dan share jika kamu suka Mr. Sun ^^ kalau makin rame, authornya makin semangat ngelanjutin. Hehehehe.

Baca juga Bukan Cinderella dan Mr. Right ya 😆

XOXO

**
Maaf telat posting ya... Sepertinya wattpad saya lagi error, upload jumat tapi ternyata nggak muncul padahal statusnya published =.=

Mr. SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang