3

10.4K 632 2
                                    

Ketika suara 'cekrek' terdengar, Reina otomatis menegakkan punggung dan bersiap. Ini akan jadi interaksi perdananya dengan sang Tuan Muda. Sejak sepuluh menit yang lalu ia dan Hendra menunggu di samping pintu kamar Tristan, Reina sibuk berspekulasi tentang apakah Liam akan langsung menerimanya atau justru menolaknya mentah-mentah.
Ia kemudian berpikir keras bagaimana cara meluluhkan hati Liam jika saja kemungkinan buruk itu yang terjadi. Tentu saja Reina tak ingin buru-buru dikembalikan ke Yayasan hanya karena tak mampu memenangkan hati Tuan Muda.

"Halo, Liam!" sapa Hendra akrab sambil tersenyum.

Reina langsung mengambil kesimpulan bahwa Liam dan Hendra sangat dekat ketika melihat si kecil langsung memanjangkan tangan ke arah Hendra - meminta untuk digendong. Hendra terkekeh senang dan langsung menyambut Liam.

"Mulai hari ini, Liam main sama Kak Reina ya," ujar Tristan lembut.

Reina berusaha menyunggingkan senyum terbaiknya pada Liam. Namun, sayangnya tak digubris bocah sepuluh bulan itu.

"Hen, hari ini aku nggak ngantor. Tolong kamu cek jadwal ketemu klien dari Jepang dan Korea dan atur pertemuannya. Nanti langsung kabarin aku kalau semua sudah oke."

Hendra mengangguk. "Siap!" Jawabnya santai.

Dari cara bicara mereka, Reina menilai bahwa hubungan Tristan dan Hendra tak hanya sekadar Bos dan Sekretaris. Mereka terlihat akrab - dalam kacamata Reina.

"Ayo, kita mandi dulu ya," bujuk Tristan sembari mengambil Liam dari gendongan Hendra. "Apa kamu sudah siapkan air mandinya?"

"Hah?" Reina terbengong. "Ah, ya, saya siapkan sekarang, Pak!" Serunya sembari berlari menjauhi Tristan dan Hendra yang saling menatap dan mengerutkan dahi.

Gadis itu tiba-tiba menghentikan langkah kemudian mengumpat dalam hati. Dasar keledai! Ia membalikkan tubuh, kemudian berjalan cepat mendekati dua pria yang tengah menatapnya dengan ekspresi berbeda. Yang satu menatap dengan kerutan kening berlipat ganda. Satu lagi terlihat tengah menahan tawa.

"Mm, Liam biasanya mandi di kamar mandi yang mana ya?" tanyanya sembari menyengir tak enak hati.

"Lain kali tanya dulu." Tristan tak menjawab pertanyaannya, melainkan langsung memimpin jalan di depan gadis itu seraya menggendong Liam. Sementara Hendra pamit menuju kantor.

***

Reina bukan tipe gadis yang gampang terpesona akan pria. Tetapi pemandangan hari ini membuatnya merasa Tristan adalah sosok yang patut mendapat nilai plus.

Lihat saja bagaimana pria itu memandikan putra semata wayangnya dengan penuh cinta. Reina jarang melihat pria melakukan hal seperti ini - apalagi dengan catatan khusus bahwa pria itu adalah orang kaya.

"Liam belum say hello sama Kak Reina ya?" tanya Tristan.

Liam tak memedulikan ayahnya. Ia sibuk bermain dengan lima bebek kecil dalam bak mandinya itu sambil sesekali memukul-mukul air. Membuat Reina dan Tristan terciprat basah.

"Toss dulu sama Kak Reina," bujuk Tristan.

Kali ini Liam menoleh. Dengan mimik mukanya yang menggemaskan, Liam mengangkat tangan kanannya ke arah Reina. Gadis itu langsung menyambutnya dengan girang lalu terkekeh.

"Coba kamu siram punggungnya," ujar Tristan pada Reina.

Reina menurut. Ia mengambil gayung kecil di dalam bak mandi tersebut dan menyiram punggung Liam dengan hati-hati. Sementara Tristan menanti reaksi anaknya.

Seulas senyum kecil terukir di wajah Tristan ketika melihat putranya tak memberi reaksi penolakan pada Reina. Begitupula saat gadis itu mengusap punggungnya.

Reina menyiram kepala Liam dengan hati-hati lalu mengusap wajah bocah itu dengan telapak tangannya. Sesekali ia menirukan suara bebek dan mengangkat salah satu mainan bebek karet itu ke depan wajah Liam. Liam tertawa.

Melihat sepertinya Reina tak kesulitan dalam mendekati putranya, Tristan lalu memberi kode padanya untuk menyelesaikan proses mandinya sementara pria itu tetap duduk di kursi kecil samping bak mandi, menemani putranya.

"Wah! Selesai! Yuk keringkan badan.... lalu...," seru Reina sambil mengeringkan tubuh Liam dengan handuk. "... kita terbang!" Reina lalu mengangkat tubuh Liam yang telah terbungkus handuk dengan posisi terbang.

Liam tertawa senang. Sementara Tristan hanya mengulum senyum di balik punggung Reina.

Sepertinya dia bisa diandalkan. Pikir Tristan

Reina mendadak canggung ketika menyadari bahwa ia telah berada di kamar Tristan setelah keluar dari kamar mandi - yang terletak di dalam kamar majikannya itu.

"Di mana saya bisa memakaikan baju Liam, Pak?" tanya Reina.

"Di ranjang saja. Kamu bisa baringkan Liam di sana. Baju dan minyak telonnya semua ada di rak samping ranjang."

Reina mengangguk. Dengan canggung gadis itu berjalan mendekati ranjang lalu membaringkan Liam di sana.

Reina menggelengkan kepalanya cepat, menepis pikiran-pikiran tolol yang hinggap di kepalanya. Berusaha menenangkan degupan jantungnya yang mirip marching band. Sepertinya gadis itu terlalu banyak menonton film romantis.

"Nanti kalau Liam sudah tidur, kamu pindahkan semua rak dan perlengkapan mandinya ke kamar yang ada di samping sini."

"Baik, Pak."

***

Reina menghela napas sembari menyapu keringat di dahinya.

"Akhirnya selesai juga!" Serunya sambil memandang ke sekeliling kamar.

Sesuai perintah Tristan, Reina telah berhasil memindahkan rak dan segala perlengkapan Liam ke kamar di samping kamar Tristan. Sebuah kamar yang tak begitu luas, dengan sebuah pintu yang menghubungkan kamarnya dengan kamar Tristan, bernuansa putih biru. Bahkan ranjang milik Liam pun berbentuk perahu serta di sekelilingnya dihiasi beberapa wallsticker bernuansa pantai dan laut.

Kurasa Pak Tristan terobsesi pada laut. Batin Reina.

Gadis itu melirik Tristan yang tertidur bersama Liam di sisinya. Entah mengapa, Reina merasa sosok Tristan mengingatkannya pada mendiang ayahnya. Kehangatan dan cinta yang ditularkannya terasa nyata. Persis seperti ayahnya yang selalu menyayangi Reina.

***

"Pak, boleh saya pinjam telepon rumah untuk menghubungi mama saya?" tanya Reina ketika Tristan baru saja menghabiskan segelas air dingin dari kulkas.

"Memangnya kamu nggak bawa handphone?"

"Ada. Tapi saya belum sempat mengisi pulsa." Reina agak tak enak hati.

Tristan mengangguk lalu mempersilakan gadis itu menggunakannya.

Setelah memastikan Tristan telah masuk ke kamar Liam, Reina langsung menuju ruang tengah untuk menelepon ibunya.

***

Gadis itu terduduk lemas di kamarnya dengan tatapan kosong. Miris dengan keadaan yang menimpa keluarganya.

"Mama nggak apa-apa, Reina. Jangan khawatirkan Mama. Renny sebentar lagi lulus dan butuh uang yang nggak sedikit untuk daftar kuliah-"

"Pokoknya Mama harus ke dokter dalam minggu ini ya!" Reina memotong kalimat ibunya. "Reina akan telepon Renny untuk antar mama ke dokter. Soal biaya kuliah Renny, Reina akan cari cara untuk bisa menyekolahkan Renny. Mama tenang saja. Yang penting Mama jaga kesehatan ya."

Reina cemas dengan kesehatan mama. Adiknya bilang, belakangan Mama sering kram perut dan diare. Renny sudah mengajak mamanya ke dokter tetapi tak lama, keluhan itu kembali lagi.

Mengingat tentang tabungan mereka yang semakin menipis, Reina semakin sedih. Seharusnya ia bisa menghasilkan uang lebih banyak untuk mama dan adiknya.

Reina meraih ponselnya dari atas nakas. Dengan gerakan cepat, gadis itu membuka aplikasi pesan
untuk melihat-lihat kontak di sana. Mungkin ada yang bisa memberinya pinjaman tanpa bunga atau setidaknya bunga ringan tanpa agunan.

***

Mr. SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang