4

10.6K 630 4
                                    

Hari-hari berjalan cepat seolah memahami maksud Reina yang ingin segera bertemu tanggal dua November. Tepat satu bulan bekerja. Ia sudah tak sabar menerima amplop gaji pertama untuk segera dikirim ke rekening adiknya. Demi apapun, Mama harus segera ke dokter. Reina tidak suka mengulur-ngulur waktu ke dokter jika dirasa ada yang tidak beres. Ia tak ingin kejadian Rino, adik bungsunya, terulang kembali.

Maka, beginilah reaksi Reina ketika keluar dari kamarnya. Tersenyum cerah. Nyaris mengalahkan sinar matahari pagi yang hangat menembus jendela setiap sudut rumah megah keluarga Tristan.

Satu bulan bekerja, membuat Reina tak lagi sulit mendekati Liam. Bocah tembam itu tipikal anak yang tak terlalu cerewet, irit bersuara - seperti halnya anak seusianya yang telah sebelas bulan, suka mengoceh - tetapi murah senyum. Pembawaannya kalem. Mirip Tristan, papanya.

"Reina," panggil Tristan.

"Ya, Pak?"

"Kemari," lanjutnya sembari berjalan ke ruang kerja yang terletak di sebelah kamarnya.

Reina melangkah membuntuti Tristan. Matanya sibuk mengamati langkah pria itu.

Selama satu bulan bekerja di rumah ini, Reina mengenal Tristan termasuk bos yang baik. Selama Reina mengerjakan tugasnya dengan baik, Tristan tak menuntut lebih. Ia cukup betah tinggal di sini - walau awalnya sempat canggung sebab mereka tinggal bertiga di rumah besar ini - karena Tristan tak terlihat seperti lelaki hidung belang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

Mungkin ia masih belum dapat melupakan mendiang istrinya.

Tristan duduk di kursi empuk di belakang meja kayu lebar berwarna coklat tua. Tumpukan berkas, alat tulis, laptop dan sebuah pigura kecil tersusun rapi di atasnya. Reina tidak pernah melihat isi pigura itu karena tak memiliki kepentingan di ruang kerja Tristan kecuali jika ia dipanggil masuk untuk suatu alasan - seperti hari ini. Tetapi ia yakin itu adalah foto istri Tristan. Reina dapat melihat ekspresi pria itu ketika melirik pigura berbingkai putih tersebut. Ada kerinduan yang sungguh dalam terpancar dari mata coklatnya.

Tristan membuka laci pertama sebelah kanan, mengambil amplop yang telah disiapkannya semalam. Pria itu tahu, Reina sangat membutuhkan uang tersebut.

Bulan lalu, ketika Reina meminta izin untuk menggunakan telepon rumah, tanpa sengaja Tristan mendengar percakapan gadis itu. Tak begitu jelas apa yang mereka bicarakan, tetapi Tristan menangkap satu hal - bahwa Reina sangat membutuhkan gaji pertamanya itu.

Gadis itu segera menyunggingkan senyum lengkap dengan mata berbinar ketika melihat amplop putih di atas meja coklat.

"Ini gaji pertamamu," ujar Tristan seraya mengangkat amplop putih, memberi kode pada Reina untuk mengambilnya.

Reina langsung berjalan mendekati meja, memanjangkan kedua tangan untuk menyambut amplop yang telah dipikirkannya belakangan ini. Nominal yang Reina rasa cukup untuk biaya konsultasi ke dokter spesialis penyakit dalam.

Ketika tangan Reina telah meraih amplop itu, Tristan tak langsung melepaskannya. Pria itu sedikit menarik amplop putih tersebut, seakan tak rela untuk memberikan pada Reina.

Reina mengerutkan dahinya. Bingung.

"Hm." Tristan berdeham. "Saya tahu, saya tidak dalam posisi yang tepat untuk bertanya hal pribadi," ujarnya gantung.

Reina menanti lanjutan kalimat Tristan dengan cemas.

"Apa kamu sudah punya pacar?"

"Apa?"

"Apa kamu sudah punya pacar?" Tanya Tristan lagi sembari berdeham canggung.

"Tidak ada, Pak."

Tristan melepas amplop di tangannya, lalu mengukir seulas senyum tanggung penuh kecanggungan. Pria itu kemudian memberi kode pada Reina untuk keluar dari ruangannya.

Mr. SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang