21

9.9K 519 68
                                    

Seumur hidup, Tristan tidak pernah terganggu dengan suara jangkrik dari halaman samping rumahnya. Akan tetapi untuk malam ini, ia terus memaki serangga itu sebagai penyebab kebisingan yang membuatnya tidak dapat memejamkan mata. Tristan mengerang pelan. Geram dengan jangkrik - atau lebih tepatnya, dirinya sendiri. Ia membuka matanya lalu bangkit dengan kasar. Seolah dengan melakukannya, ia tengah melampiaskan amarah. Tristan melirik jam dinding yang digantung tepat di depan ranjangnya. Pukul dua, dini hari. Ia menghela napas. Terlalu awal untuk bangun. Langit bahkan masih gelap gulita.

Tristan menoleh. Ke arah sofa panjang berwarna kopi susu yang tak jauh dari ranjang. Cukup lama ia memandang gadis berambut sebahu yang kini telah menjadi istrinya. Ah, suami macam apa dirinya sampai membiarkan perempuan yang telah dinikahinya itu tidur di sofa.

Tristan bangkit dari ranjang. Perlahan, ia melangkah mendekati Reina yang telah tidur di sofa dengan selimut yang menutupinya hingga dada. Gadis itu terlihat cukup nyaman di sana. Namun Tristan tidak ingin membuat gadis itu bangun dengan seluruh badan pegal karena tidak tidur dengan benar.

Maka, Tristan membulatkan niat untuk memindahkan Reina ke ranjang.

Pria itu berdiri cukup lama di depan sofa, memandangi wajah Reina yang terlihat nyenyak. Perlahan, pandangannya turun hingga ke ujung kaki gadis itu yang ditutupi selimut. Spontan saja, Tristan menelan ludah. Astaga! Ia sudah berjanji akan menahan diri sekuat tenaga.

Setelah berhasil mengendalikan diri, Tristan membungkuk, mendekatkan jaraknya dengan Reina. Hidungnya menegak begitu mencium wangi sampo yang menguar dari rambut Reina. Dengan gerakan kaku mirip robot, Tristan menyingkirkan selimut dari tubuh Reina. Lagi-lagi Tristan harus mengendalikan diri sepuluh kali lipat begitu melihat istrinya yang terlihat memesona dengan mengenakan gaun tidur berwarna merah muda. Ia bahkan menahan napas begitu aroma tubuh Reina yang berasal dari sabun mandinya menyusup ke hidung Tristan.

"Ya Tuhan, cobaan macam apa ini," gumamnya pelan.

Dengan sangat hati-hati, Tristan menyelipkan lengan kirinya ke belakang leher Reina dan lengan kanannya bersiap diselipkan ke belakang lutut gadis itu. Ia takut membangunkan Reina. Namun, tak sampai satu detik kemudian, Reina membuka mata, menatap Tristan lengkap dengan dahi yang berkerut. Ia menanti penjelasan.

Sontak saja Tristan gelagapan. Ditariknya lengan yang tadinya telah di belakang leher Reina. Mulutnya terbuka, seakan hendak menjelaskan maksud perbuatannya, tapi tidak ada suara yang keluar.

"Ehm." Tristan berdeham. Berusaha mengembalikan suaranya yang mendadak raib. "Aku bermaksud memindahkanmu ke ranjang," jelas Tristan akhirnya. Kemudian ia menyesali apa yang baru saja dikatakannya. Terdengar mesum!

"Oh, aku nggak apa-apa. Di sini cukup nyaman," jawab Reina sambil mengusahakan seulas senyum tipis.

"Kamu kan istriku. Sudah seharusnya aku memberi yang terbaik untukmu," ujar Tristan. Lagi-lagi ia menyesali ucapannya. Terdengar gombal!

"Nggak apa-apa kok. Beneran."

Tristan menggeleng pelan. Entah mendapat dorongan dari mana, ia nekat menyelipkan kedua lengannya pada belakang leher dan lutut Reina lalu menggendongnya. Reina memekik pelan sebagai reaksi kagetnya. Sementara Tristan tak menggubris respons gadis itu. Ia tetap berjalan sambil menggendong Reina. Dengan hati-hati, Tristan membaringkan istrinya ke ranjang.

Deg.

Tak dapat dimungkiri, berada dalam jarak sedemikian dekat di atas ranjang, membuat jantung keduanya hiperaktif. Mengesampingkan soal kesepakatan pernikahan, naluri dua insan manusia tengah bergejolak melawan hasrat yang berlomba-lomba ingin berkuasa. Sekuat tenaga, mereka mengendalikan logika agar tetap waras.

Namun, salah satu dari mereka akhirnya menyerah.

Mr. SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang