20

6.7K 405 13
                                    

Malam pertama tentu menjadi hari yang paling ditunggu oleh setiap pengantin baru. Segala persiapan tetek bengek pernikahan yang melelahkan seolah lunas terbayarkan begitu dua insan yang saling mencintai itu dinyatakan sebagai pasangan yang sah. Puncak dari pembuktian sah tidaknya pasangan tersebut adalah malam ini. Ketika mereka tak lagi dua, melainkan satu.

Reina menatap kosong cermin di hadapannya. Riasan tebal di wajah dan gaun pengantin masih menempel sempurna di tubuhnya. Pikirannya kalut begitu mengingat semua yang telah ia lakoni. Reina ingat betul ekspresi bahagia ibu dan adiknya tadi pagi. Namun hal tersebut justru berbanding terbalik dengan hatinya yang ingin berteriak pilu menghadapi mahligai pernikahan yang tak pernah ia inginkan - setidaknya, ia belum menginginkannya. Sekali pun, gadis itu tidak pernah berpikir akan menjadi peran pengganti. Ah, bahkan ini bukanlah syuting adegan laga yang memerlukan pemeran pengganti. Namun, peran yang ia lakoni rasanya lebih berat daripada harus berjibaku dengan segala adegan berbahaya ala film laga.

Istri pengganti? Haha. Demi Tuhan, siapa yang menginginkan posisi itu? Menikahi seorang pengusaha muda tentu saja impian nyaris setiap wanita. Tetapi menjadi istri pengganti? Reina sendiri jijik membayangkan dirinya yang begitu tolol menyerahkan diri pada uang.

"Ehm." Suara dehaman Tristan membuyarkan pikiran Reina yang melayang tak terkendali.

Gadis itu gelagapan. Genangan di kedua kelopaknya tanpa sadar terjatuh, membasahi pipi. Buru-buru Reina mengusapnya agar tak diketahui Tristan. Namun, pria itu memiliki penglihatan yang tajam. Ia menyadari bulir air mata yang membasahi pipi istrinya. Seketika itu, dadanya perih. Salahkah keputusannya meminang gadis ini?

"Kamu sudah mandi? Kalau begitu, aku mandi ya," ujar Reina berusaha terdengar enteng. Ia memanjangkan tangan kanannya ke belakang pinggang, meraih tali yang mengikat punggung hingga pinggangnya.

Tristan bergumam sambil mengangguk menjawab Reina. Dan ketika menyadari gadis itu tengah kesusahan melepas gaun pengantinnya, Tristan berinisiatif membantu. "Sini, biar kubantu," katanya sambil memanjangkan tangan meraih simpul tali di pinggang Reina dan membukanya.

Ketika Tristan berhasil melepaskan simpul ikatan gaun dan menariknya hingga ke punggung, otomatis, bagian atas gaun pengantin tersebut terbuka. Buru-buru Reina mendekap dadanya erat, berusaha agar bagian atas gaunnya tak melorot. Ia belum siap memperlihatkan bagian intim tubuhnya pada Tristan, suaminya.

Gadis itu berdeham canggung. Untung saja Tristan cukup peka dengan dehaman halus Reina. Dengan cepat ia membalikkan tubuh lalu berjalan ke arah ranjang dan berbaring membelakangi Reina. Gadis itu buru-buru melepas gaun pengantinnya lalu berlari kecil ke kamar mandi yang terdapat di dalam kamar.

*

Tristan bergulat cukup lama dengan pikirannya selama Reina di kamar mandi. Berbagai hal berseliweran di kepalanya hingga rasanya akan meledak. Tentang hasrat lelakinya yang ingin menikmati malam ini dengan indah. Tentang rasa bersalahnya pada Hani sebab ia telah lancang memikirkan wanita lain. Tentang bagaimana ia akan melukai Reina jika memaksa gadis itu melayaninya.

Tidak.

Tristan bukanlah binatang yang hanya mementingkan hasrat.

Pria itu menutup seluruh tubuh, termasuk kepalanya dalam selimut. Ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan demi meredam debar menggelitik di dadanya. Sungguh, cobaan apa yang lebih menyiksa daripada harus menahan diri dari wanita yang telah sah menjadi istrinya - bahkan saat Liam sementara diasuh oleh ibunya agar mereka dapat menikmati malam pertama yang seharusnya penuh gairah?

Tubuh Tristan terbujur kaku begitu mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Bola matanya berlarian panik. Tak ingin niatnya luntur, pria itu berusaha keras tidak mengempaskan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya demi melihat penampakan Reina selepas mandi. Berkali-kali ia menelan ludah. Hingga puncaknya, saat Reina mendekat dan duduk di sisi ranjang.

"Sudah tidur ya," gumam Reina seraya menatap Tristan yang masih membungkus seluruh tubuhnya di balik selimut.

Kedua alis Tristan berkerut saat mendengar gerak-gerik Reina. Gadis itu menarik bantal lalu berjalan menjauh dari ranjang. Tristan ingin mencegah namun waktunya tidak pas. Ia telah terlanjur berakting tidur - atau lebih tepatnya ia cemas tidak dapat mengendalikan diri jika melihat Reina.

Sementara Reina yang tengah meletakkan bantal ke sofa panjang tak jauh dari ranjang, menghela napas berat. Ia tertawa kecil. Lebih tepatnya tertawa mengejek. Pada dirinya sendiri. Dipandangnya gaun tidur selutut tanpa lengan yang dikenakannya - hadiah dari Renny. Ia mulai merasa gaun merah muda berbahan satin itu membuatnya terlihat menyedihkan. Murahan. Apa yang diharapkan dari pernikahan ini? Walau ia tidak mencintai Tristan, tetapi Reina mengakui bahwa dirinya kecewa karena Tristan sama sekali tak berniat menyentuhnya. Sungguh, kali ini merupakan tamparan keras bagi Reina, bahwa ia tidak perlu mengharapkan apa pun dari hubungan ini. Tristan sungguh hanya menikahinya agar menjadi ibu bagi Liam. Bukan menjadi istrinya.

***

Mr. SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang