18

6.1K 387 16
                                    

Reina menurut saja ketika Tristan memintanya untuk menjaga Liam di kamar. Gadis itu tahu, Tristan dan Bu Tanti memerlukan kesempatan untuk berbicara empat mata. Benaknya bergejolak memikirkan keputusan apa yang akan diambil Bu Tanti. Sejujurnya, ia pun tidak yakin tentang apa yang diinginkannya.

Jika Bu Tanti menolak pernikahan mereka, Reina lega karena tidak perlu menikah dengan pria yang tidak dicintainya. Namun, jika Bu Tanti menyetujui rencana mereka, ia juga bersyukur karena berarti Reina bisa memberi pengobatan terbaik untuk ibunya dan tidak perlu mengkhawatirkan biaya kuliah Renny.

"Liam," ujar Reina pelan sembari mengelus rambut Liam yang masih tertidur pulas. "Apa kamu mau Kak Reina yang jadi mamamu?"

***

Lama sekali, sunyi menyelimuti teras rumah. Baik Tristan maupun Bu Tanti masih memilih untuk diam sejak sepuluh menit mereka duduk di sana. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.

Tristan berdeham. Memecah senyap yang sejak tadi mendera.

"Ma," panggilnya, membuka percakapan.

"Kenapa kamu nggak pernah mau dengar pendapat Mama?" tanya Bu Tanti dengan suara rendah.

Tristan terdiam. Sekelebatan masa lalu tiba-tiba saja merasuki pikiran pria itu. Tak dimungkiri, sejak kecil, Tristan tidak pernah membiarkan siapa pun menentukan pilihan untuknya. Tentang apa pun. Tristan sangat keras kepala jika menyangkut keputusan untuk memilih sesuatu.

"Ini bukan hanya menyangkut Tristan, Ma. Tapi juga untuk Liam." Tristan berusaha mengontrol emosinya.

Bu Tanti tak menjawab. Beliau membungkukkan sedikit tubuhnya untuk mengambil cangkir di meja lalu menyeruput teh hangat perlahan.

"Baiklah," kata Bu Tanti, akhirnya. Beliau menghela napas pelan, mengisyaratkan bahwa beliau menyerah. Tidak ada yang dapat dilakukannya pada Tristan. Bu Tanti tahu betul watak putranya.

Tristan menyunggingkan senyum penuh kelegaan. "Terima kasih, Ma!" serunya tertahan. Ia tentu saja tidak ingin terlihat seperti anak remaja yang kegirangan karena baru saja mendapat izin dari ibunya agar boleh berpacaran.

Sementara Bu Tanti hanya bisa berharap bahwa Reina adalah wanita yang tepat untuk mendampingi Tristan dan menjadi ibu yang dapat mendidik Liam dengan baik.

***

Reina menggendong Liam dengan sangat hati-hati keluar dari mobil. Sementara Tristan dengan cepat berjalan di depannya supaya tiba di kamar terlebih dahulu untuk menyalakan AC. Bocah itu selalu saja tidur di perjalanan. Semacam sengaja membuat Reina dan Tristan kikuk tak berdaya selama perjalanan. Baru setengah perjalanan, Liam tertidur dan suasana heboh yang sejak tadi diciptakan bocah itu mendadak saja lenyap. Menyisakan canggung yang demikian kentara. Reina sendiri sangat penasaran dengan hasil percakapan ibu-anak tadi. Beberapa kali gadis itu melirik Tristan yang tengah menyetir, namun sepertinya pria itu tak berniat membicarakannya di mobil.

"Pelan-pelan," ujar Tristan ketika Reina akan membaringkan Liam di ranjang.

"Sh... Sh... Sh..." Reina menepuk-nepuk pelan paha Liam agar bocah tersebut kembali nyenyak.

Lega.

Begitu yang dirasakan Reina ketika Liam telah berpindah ke ranjang.

"Kalau begitu, aku pamit ke kamar dulu ya," ujarnya tanpa berani menatap Tristan. Sampai saat ini, Reina masih begitu canggung jika berada di kamar bersama Tristan.

Pria itu berdeham pelan. "Bisa bicara sebentar?"

"Hm? Ya," jawab Reina kikuk.

Tanpa berkata apa-apa, Tristan berjalan ke luar kamar. Reina cukup cerdas untuk mengekor tanpa diminta. Pria itu mengajaknya duduk di ruang tengah, tempat mereka biasa menghabiskan waktu untuk menonton televisi.

Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam. Hening yang menyisakan sayup-sayup bunyi jangkrik di luar sana membuat Reina semakin kikuk. Beberapa kali ia menelan ludah, seolah dengan melakukannya ia bisa kembali waras.

"Apa ini tentang pembicaraanmu dengan Ibu?" Reina memberanikan diri untuk membuka percakapan.

Tristan mengangguk. Seulas senyum tipis terukir di sana.

"Mama akhirnya merestui rencana pernikahan kita," ujar Tristan, berusaha terdengar tidak berlebihan.

"Oh, baguslah."

Suara Reina tak terdengar senang. Ada kegelisahan yang tersirat dari suaranya. Dan Tristan cukup peka untuk menangkap perasaan itu. Namun pria itu lebih memilih untuk mengabaikannya. Baginya, yang terpenting adalah pernikahan mereka akan berjalan sesuai rencana.

"Besok kita pergi menemui wedding organizer ya. Aku nggak punya cukup waktu untuk mengurus segala tetek bengek pernikahan."

"Ya."

"Oh ya, aku berencana untuk menikah tamasya saja. Kamu nggak apa-apa kan?" tanya Tristan.

Reina tertawa dalam hati. Pria itu bertanya hanya sekadar basa-basi. Jika ia ingin ini-itu pun Reina tidak akan berani menyampaikannya. Gadis itu cukup tahu diri dengan posisinya sebagai pihak yang 'dibeli'. Tentu saja ia akan membiarkan 'pembeli' yang menentukan segalanya. Bukankah pembeli adalah raja?

"Ya, boleh."

Raut wajah Tristan berubah. Tadinya, gurat-gurat halus di wajahnya masih terlihat sebab pria itu tak mampu menahan secara penuh kelegaan yang dirasakannya. Kini, wajahnya kembali tegas. Sudut bibir yang tadinya sedikit terangkat, ia kembalikan posisinya pada mode lurus. Sorot matanya terlihat kecewa.

Ah, apa yang diharapkannya? Tristan tentu sudah tahu reaksi seperti ini yang akan diberikan Reina. Mereka bukanlah sepasang kekasih yang tengah sangat bersemangat membahas rencana pernikahan.

***

Author:

Hello readers, maaf kalau belakangan ini Mr. Sun bakal lama update. Soalnya saya lagi fokus untuk novel baru. Tapi karena dukungan kalian yang luar biasa, sebisa mungkin akan tetap saya lanjutkan ^^ (hanya saja waktunya mungkin nggak bakal rutin)

Pls share dan komen setelah selesai membaca ya.... Makin banyak yang baca dan komen, saya jadi makin semangat untuk lanjutin. Oh ya, kamu juga boleh kasih kritik dan saran loh.... Boleh di kolom komentar atau private message juga boleh =)

Follow instagram dan twitter saya @delafh3424 ya =)

Mr. SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang