10

8.3K 574 17
                                    

Mirip Hani? Siapa? Apa jangan-jangan mendiang istri Pak Tristan? Apa karena mirip makanya Pak Tristan milih aku? Kalau aku terima lamarannya dan menikah, apa nanti aku akan dibanding-bandingkan dengan mendiang istrinya? Walaupun cuma untuk jadi ibu bagi Liam, tapi tetap saja, Pak Tristan pasti akan membandingkan-bandingkan. Duh, aku paling nggak suka dibandingkan! Demi apapun, menikah tanpa cinta sama aja bohong! Mana bisa bahagia menikah cuma karena barter keuntungan?

Isi kepala Reina penuh sepanjang perjalanan dari salon ke rumah Tristan. Ia bungkam sedari tadi. Tristan pun terlihat enggan untuk memulai percakapan. Mereka canggung. Atau lebih tepatnya saling menyimpan pemikiran masing-masing. Tanpa mau dibicarakan.

Jarak antara salon dan rumah Tristan di kawasan Palapa sebenarnya tak begitu jauh. Namun kebungkaman mereka membuat perjalanan terasa begitu jauh - lama. Dalam hati, Reina ingin segera tiba di rumah, bertemu Liam demi mencairkan suasana di antara mereka.

"Liam, coba lihat siapa yang datang?" sapa Tristan dengan suara ringan sambil membuka pintu kamar bermain Liam yang terletak di lantai dua.

Bu Tanti duduk santai di lantai karpet empuk menemani Liam yang tengah bermain mobil-mobilan. Begitu mendengar suara ayahnya, bocah yang baru genap berusia satu tahun itu otomatis menoleh. Ketika mata bulatnya menangkap sosok Reina, Liam langsung merangkak penuh minat ke arahnya. Sepertinya anak itu begitu merindukan baby sitternya.

Reina tertawa. Begitu melihat sosok mungil itu merangkak cepat ke arahnya, Reina membungkuk lalu menggendongnya dengan sayang. Tak bisa dipungkiri, ia pun merindukan Liam.

"Ma," sapa Tristan pada Bu Tanti.

"Bu," sapa Reina juga.

Bu Tanti hanya menjawab dengan gumaman sambil mengangguk. "Liam, sini main sama Oma."

Reina langsung berjalan mendekati Bu Tanti dan menyerahkan Liam pada neneknya. Duduk dalam jarak dekat di lantai karpet bersama Liam dan Bu Tanti sukses membuat gadis itu canggung luar biasa. Belum lagi Tristan yang mendadak pamit untuk berganti pakaian.

Reina menelan ludah begitu Tristan meninggalkan kamar bermain.

"Sudah berapa lama kamu berhubungan dengan Tristan?" tembak Bu Tanti tanpa basa-basi.

Glek!
Rasanya sebongkah batu besar menyangkut di kerongkongan Reina.

"Apa kamu bisa menjadi ibu untuk Liam?"

Napas Reina tercekat. Merasa dipojokkan.

"Dengar, saya sudah menyiapkan calon istri yang pantas untuk Tristan. Jadi, saya harap kamu tahu diri dengan tidak mengacaukan rencana saya."

Kini, bulir-bulir keringat sebesar biji jagung membasahi tengkuk Reina. Belum-belum, ia sudah mendapat ancaman. Jika sudah dijodohkan, mengapa Tristan harus memintanya untuk menjadi ibu bagi Liam? Reina tak habis pikir, mengapa Tristan harus melibatkannya dalam situasi pelik seperti ini. Ia tidak ingin merusak hubungan antara Tristan dan ibunya.

Untungnya, sebelum Reina menjawab, Tristan kembali.

***

Suasana canggung kembali meliputi mereka. Setelah makan malam di restoran dan mengantar Bu Tanti serta Liam pulang, Tristan mengantar Reina kembali ke hotel.

"Turunkan saya di lobby saja, Pak. Jadi nggak perlu repot parkir lagi." Reina berkata sopan, tak ingin merepotkan Tristan. Terlebih, ia ingin segera mengakhiri situasi canggung ini.

"Ada yang ingin saya bicarakan denganmu." Hanya itu jawaban Tristan sembari membelokkan mobil ke kiri, memasuki area parkir hotel bintang empat itu.

Lagi-lagi Reina diam. Entah mengapa, ia terlalu segan untuk menolak. Rasanya, tidak banyak kata yang bisa diucapkannya jika bersama Tristan. Ia menjadi pribadi yang berbeda jika bersama pria itu.

"Saya minta maaf tentang apa yang dikatakan Mama." Tristan membuka pembicaraan tepat setelah pintu kamar dibuka. Bahkan sebelum kakinya menginjak masuk.

Gerakan Reina terdiam sejenak. Berarti Tristan mendengar percakapan mereka. Jadi, seharusnya pria itu mengurungkan niatnya jika tahu ibunya tidak merestui pernikahan mereka.

Reina melangkah masuk, meletakkan tas di atas meja. Tenggorokannya kering. Tanpa menjawab Tristan, ia membuka kulkas kecil di bawah televisi dan mengambil sebotol air mineral. Reina meneguk 330ml air itu dalam sekali napas. Seolah dengan melakukannya ia dapat melegakan kekalutan hatinya. Tak dapat dipungkiri, tawaran biaya pengobatan ibunya dan kuliah adiknya sangat menggiurkan gadis itu. Egoiskah jika ia bersikukuh dengan pilihannya untuk tetap menolak Tristan sementara ibu dan Renny membutuhkannya?

"Reina," panggil Tristan sembari berjalan mendekati gadis itu.

Tanpa menjawab, Reina membalikkan tubuhnya. Dan dalam gerakan cepat, ia memeluk tubuh tegap Tristan dengan mata terpejam.

Deg!

Jantung Tristan melompat kaget ketika tiba-tiba saja Reina meraih tubuhnya, mendekapnya erat. Ia bahkan dapat merasakan hangat tubuh gadis mungil itu. Kedua tangannya masih menggantung pada angin. Ia terlalu terkejut untuk memberi reaksi selain diam membeku, membiarkan Reina memeluknya.

Sementara itu, Reina terlalu buntu untuk membuat keputusan. Ia ingin menguji hatinya - dan juga Tristan. Dekapan eratnya pada pinggang pria itu menguarkan hangat yang menggelitik dadanya. Namun, Reina tahu, bukan itu yang dicarinya. Gadis itu tak merasakan debaran kencang layaknya tabuhan perkusi. Pipinya tak bersemu merah seperti ketika dulu dirasakannya pada kakak kelasnya zaman SMA.

Buru-buru Reina melepas pelukannya. Membuat Tristan akhirnya bisa menghela napas.

"Apa yang Pak Tristan rasakan?"

"..."

"Tidak ada kan?"

"..."

"Bagaimana dua orang yang sama sekali tidak menyimpan perasaan apa-apa bisa menikah hanya untuk saling menguntungkan?" Kali ini kedua bola matanya mulai basah. "Maaf, Pak, tapi saya benar-benar tidak bisa menerima lamaran Bapak."

"Reina, coba kamu--"

Kalimat Tristan terpotong ketika tiba-tiba saja ponsel Reina berbunyi.

Dari Renny.

"Angkat saja dulu," kata Tristan dengan suara rendah.

Reina segera menempelkan ponsel ke telinga.

"Halo Ren," sapa Reina, berusaha terdengar santai. Ia tidak ingin Renny mencemaskannya.

"Kak! Mama, Kak!" Suara Renny terdengar panik.

Mau tak mau, Reina ikutan panik. "Mama kenapa, Ren?"

Mendengar suara Reina berubah, Tristan terlonjak kaget. Ada apa? Benaknya.

"Mama pingsan, Kak! Renny lagi tunggu Pak RT datang untuk antar mama ke UGD."

Rasanya, jantung Reina terjun bebas. Dengan gagap ia menjawab adiknya, "A-aku pulang sekarang. Nanti kususul ke rumah sakit."

"Loh? Kak Reina nggak kerja?" tanya Renny kebingungan.

Reina tak lagi sempat menjawab pertanyaan Renny, dengan gerakan kalang kabut ia meraih tas yang tadi diletakkan di atas meja lalu menelepon taksi luar kota.

"Ha-halo--"

Belum sempat Reina berbicara, Tristan meraih ponsel gadis itu dan memutuskan sambungan teleponnya.

"Daripada taksi, kuantar saja sekarang."

***

Author:

Yuhuuu~~~
Part 10 beres! Kalau kamu suka Mr. Sun, jangan lupa vote, komen dan share ya.... Makin rame, saya bisa makin semangat lanjutinnya (walaupun, jadinya proyek novel yang lain malah jadi lelet 😂😂😂)

Yuk komen kira-kira di episode mendatang, ceritanya bakal gimana ya?

Mr. SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang