22

7.3K 389 34
                                    

Tristan mendekatkan jarak wajah di antara mereka. Perlahan. Sangat perlahan. Ia melakukannya sambil menanti respon Reina. Awalnya, gadis itu tak menolak. Tristan pun makin menipiskan jarak bibir mereka. Hingga ketika bibir mereka hampir bersentuhan, Tristan sadar, Reina memejamkan kedua matanya sembari mengerucutkan bibir. Pria itu menangkap sinyal penolakan dari sang istri. Tristan menghentikan gerakannya. Menanti reaksi Reina. Satu detik. Dua detik. Di detik ketiga, Tristan mundur sembari berdeham pelan.

"Maaf," ucapnya getir seraya melepaskan rengkuhannya di tengkuk Reina dan menurunkan sebelah kakinya yang bertengger di tepi ranjang.

Tristan melangkah pergi meninggalkan kamar. Sementara Reina akhirnya mampu bernapas setelah sekian detik menahannya. Ia menyentuh dadanya, merasakan degup jantungnya yang melompat tak keruan. Sebersit kekecewaan terbit.

Dia memang tidak pernah menginginkanku menjadi istrinya, batinnya sambil memandang pintu kamar yang tertutup rapat.

*

Matahari pagi mulai terbit di ufuk timur. Jendela besar yang tertutup gorden mulai tak mampu menghalau silau. Sinar mentari pun menembus masuk, mengusik tidur Reina. Wanita itu  mengerutkan dahi lalu mengangkat lengan kanannya menutupi mata.

Begitu menyadari hal yang terjadi semalam - di malam pengantin mereka - Reina buru-buru bangkit dari sofa tempatnya tidur.

Ya, ia merasa lancang jika tidur di ranjang sementara sang tuan entah di mana semalam.

Sejak keluar kamar setelah mengucapkan sepatah kata maaf, Tristan tak kembali. Entah di mana ia tidur, pikir Reina.

Perempuan itu menyandarkan tubuhnya ke sofa lalu memandang langit-langit kamar berwarna putih. Kosong. Persis hatinya yang tak bertuan namun telah tertutup rapat. Ia mengangkat lengan kanan lalu menenggerkannya di dahi seraya tertawa getir. Hampir menangis. Bola matanya basah, namun ia berusaha keras tak membiarkannya jatuh.

Ia kembali mengingat adegan dramatis khas malam pertama yang dialaminya. Namun ternyata dengan akhir pahit. Pikirnya, dengan ikatan pernikahan - yang walaupun dipinang sebagai pengasuh Liam - Reina dapat mencoba membuka hatinya untuk Tristan. Namun, pria itu ternyata memiliki tembok hati berlapis yang sulit ditembus.

*

Tristan terjaga sepanjang malam. Lingkar hitam di kedua matanya adalah bukti konkrit pria itu tak mampu memejamkan mata barang semenit. Kecewa, kesal, dan marah bercampur menjadi satu. Bukan pada Reina, melainkan pada dirinya sendiri.

Oke, harus diakuinya, ia sedikit kecewa pada Reina karena menolaknya. Namun, marah dan kesal pada diri sendiri lah yang membuatnya tidak dapat tidur.

Tristan menoleh pada pigura di meja kerjanya. Lelaki itu tersenyum getir.

"Maafkan aku," ucapnya pada foto mendiang sang istri.

Tristan marah pada dirinya yang nyaris mengkhianati cintanya pada Hani. Kecewa pada tindakannya sendiri.

Syukurlah ia tak jadi menyentuh Reina. Gadis murni itu tentu saja tidak sudi disentuh olehnya. Mendapati Reina mengiyakan tawarannya saja, Tristan seharusnya bersyukur. Sebab ia akhirnya dapat memberi sosok ibu pada Liam. Dan seharusnya, Tristan tak ngelunjak dengan meminta lebih dari kontrak kerjasama mereka.

Mengapa ia menjadi tamak? Ia tak lebih dari binatang jalang jika berani menyentuh Reina!

Tristan menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan kasar. Berusaha mengatur emosi dan kepalanya lagi. Nanti ia akan bertemu dengan Reina. Bagaimana ia harus bersikap?

*

.
.
.

Hi, author di sini 😁 maaf, lebih dari 1 tahun, Mr. Sun mogok update. ☹️ Saya masih kesulitan mengatur waktu mengurus dua bocah (yes, i'm a mother of two) dan online shop (boleh mengunjungi toko saya di instagram @jpkidsroom 😁)

Saya sangat terharu melihat Mr. Sun yang masih  dibaca hingga saat ini. Hampir setiap hari ada vote baru dan follower baru juga bertambah banyak selama 1 tahun ini.

Saya update chapter 22 ini karena merasa bersemangat cerita saya masih dinanti pembaca. Walau entah kapan sempat menyelesaikan part 23, saya akan mengusahakannya. 😘

Mr. SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang