7

8.3K 591 19
                                    

Reina melongo ketika Hendra menyerahkan kunci ke depan hidungnya.

"Ini maksudnya apa?" Tanya Reina dengan dahi berkerut.

Hendra meringis. Terlihat agak tak enak hati untuk memulai penjelasannya.

"Reina," Pria itu menghentikan kalimatnya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya melalui mulut. Terlihat gugup. Ia sendiri tak tahu, reaksi seperti apa yang akan ditunjukkan gadis itu setelah dari tadi tak henti-hentinya dikejutkan dengan segala rencana yang telah disusun olehnya dan Tristan.

"Tristan memutuskan untuk memecatmu."

Napas gadis itu tercekat. Walau sebenarnya tadi ia telah mendengarnya langsung dari sang bos, tetapi hati kecilnya berharap Tristan hanya bercanda - semacam lelucon april mop - kemudian tetap membuka pintu lebar-lebar baginya.

Ah, ternyata Tristan tak bercanda.

"Lalu kenapa aku harus nginap di hotel?"

Hendra menyunggingkan senyum miring. "Bu Tanti akan menginap di rumah malam ini. Jadi kamu nggak boleh ada di rumah."

Reina tampak berpikir. Namun, belum sempat ia merespon, Hendra terlebih dahulu mendorongnya masuk ke kamar lalu mengucapkan selamat beristirahat padanya.

Blam!

Pintu kamar hotelnya tertutup. Menyisakan sebuah tanda tanya besar bergelantungan di atas kepala Reina. Ia mulai merunutkan inti permasalahan hari ini.

Hadiah gaun mahal. Diperkenalkan sebagai pacar di depan ibunya. Dipecat.

"Duh! Sebenarnya, Pak Tristan itu kenapa sih?" Reina mengacak rambutnya, frustrasi.

Gadis itu melempar tubuhnya ke atas ranjang empuk lalu memejamkan mata. Ia menarik napasnya dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Reina melakukannya beberapa kali namun tetap saja pikirannya masih kalut.

"Kalau dipecat, mau kerja apa nanti? Sementara aku butuh uang untuk pengobatan Mama. Ah, aku bahkan belum menelepon Mama dua hari ini. Sekarang, apa yang harus kukatakan? Kalau Mama tahu aku dipecat, bukankah akan jadi beban pikiran Mama?"

Reina memutuskan buat tidur dan melupakan perkara hari ini untuk sementara. Walau sebenarnya, ranjang empuk ini terasa begitu menyenangkan hingga mampu membuat siapapun tidur lebih nyenyak, tetapi nyatanya masalah yang menimpanya hari ini tak semudah itu untuk diabaikan. Kendati ia memutuskan untuk segera tidur, kenyataannya ia sibuk bergulingan di atas ranjang tanpa mampu memejamkan mata.

***

Tristan dan Bu Tanti tengah duduk di ruang keluarga, sementara Liam bermain di lantai beralas karpet empuk bermotif sirkus.

Kedua orang dewasa itu terdiam beberapa saat setelah adu mulut kecil. Liam yang tak mengerti situasi, berteriak kegirangan menonton youtube tentang surprise egg sambil sesekali bertepuk tangan.

"Tristan," Bu Tanti merendahkan suaranya setelah berhasil meredam emosi. "Mama hanya ingin yang terbaik buat kamu."

Tristan tak langsung menjawab. Kalimat ibunya barusan mengingatkannya pada kejadian tiga tahun yang lalu. Ketika ia mengutarakan niatnya untuk melamar Hani.

"Tapi Tristan tidak pernah menyukai Sophie."

Bu Tanti menghela napas berat. Putra satu-satunya ini tetap saja keras kepala. Dulu ketika dijodohkan dengan Sophie, ia nekat melamar Hani yang telah dipacarinya sejak SMA. Kini, ketika perempuan itu tiada, ia malah memilih perempuan lain yang entah dari mana datangnya.

"Lalu, kamu mau sampai kapan menduda ? Ingat, Liam mulai tahu ini-itu. Kasihan kalau nanti dia tidak merasakan kasih sayang seorang ibu." Bu Tanti memandang Liam yang kini tengah bermain dengan mobil-mobilannya. "Menurut Mama, Sophie bisa jadi ibu yang baik untuk Liam."

Kali ini giliran Tristan yang menghela napas. Ibunya tidak tahu bagaimana sifat asli Sophie. Yang dilihatnya tentu saja yang baik-baik selama di depan Bu Tanti. Tetapi Tristan tak ingin memancing emosi ibunya lagi.

"Tristan akan menikah dengan Reina."

***

Tristan memandang Liam yang kini telah tertidur pulas. Sorot matanya teduh. Penuh kasih sayang pada putranya.

Kali ini, pandangannya beralih ke nakas samping ranjangnya. Tristan membuka laci pertama nakas dan mengeluarkan pigura foto mendiang Hani.  Ia memilih untuk menyembunyikan foto Hani agar Liam tak merasakan kesedihan mendalam sepertinya. Liam mungkin belum mengerti, tetapi Tristan tidak ingin Liam merasakannya.

Tristan mengelus pelan pigura istrinya. Bola matanya memanas. Sekuat tenaga ia menahan diri agar air matanya tak turun.

"Hani, izinkan aku menikahi Reina." Tristan berbisik pada angin. "Aku mencintaimu," katanya kemudian mencium foto mendiang istrinya penuh sayang.

***

(karena banyak yang komentar minta dilanjutin, akhirnya lanjut deh!  Walau pendek, semoga bisa memuaskan imajinasi pembaca Mr. Sun ^^ ditunggu vote, komentar dan sharenya ya.... Kalau banyak yang baca, diusahakan lanjut lagi 😁)

Mr. SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang