17

6.1K 392 16
                                    

Reina gugup setengah mati ketika mereka akhirnya tiba di depan rumah keluarga Tristan. Selama perjalanan hampir satu jam dari Pontianak menuju Jungkat, gadis itu tak dapat menutupi kegelisahannya. Tristan dapat melihatnya dari sudut matanya. Walau terlihat fokus menyetir, pria itu beberapa kali mencuri pandang pada calon istrinya.

Liam yang tertidur sejak lima belas menit lalu makin membuat gadis itu serba salah. Pikirnya, dengan adanya Liam, ia bisa mencairkan suasana dengan mengajak Liam bermain bersama neneknya. Tetapi pangeran cilik itu malah mengkhianatinya dan memilih untuk tidur pulas justru ketika mereka hampir tiba.

"Kita sudah sampai," kata Tristan tepat setelah ia memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah kayu yang besar.

Reina takjub melihat pemandangan di hadapannya.

Rumah orangtua Tristan memang juga rumah kayu - seperti rumahnya di Singkawang. Tetapi, tentu saja rumah kayu yang kastanya tak dapat disamakan dengan milik keluarganya. Dari ukuran saja sudah terlihat jelas bahwa ini bukan rumah kayu biasa. Luasnya saja tiga kali lipat rumahnya. Dan begitu Reina menginjakkan kaki ke anak tangga untuk mencapai teras rumah tersebut, gadis itu tahu rumah tersebut terbuat dari kayu belian - atau yang biasa disebut kayu ulin atau kayu besi. Karena ayahnya dulu adalah seorang tukang kayu, sedikit banyak Reina tahu soal betapa kokoh dan mahalnya kayu belian Kalimantan ini. Menurut ayahnya, kayu belian ini bahkan tahan terhadap air laut. Reina ingat, sewaktu kecil, ia suka menemani ayahnya menyerut kayu.

"Oh, kalian sudah sampai?" Bu Tanti menyambut di depan pintu utama. Senyumnya terlihat cerah menatap putera dan cucu kesayangannya.

Suara Bu Tanti berhasil menyadarkan Reina untuk tidak terlalu larut dalam kenangan bersama ayahnya. Entah karena Reina terlalu sensitif atau memang seperti itulah keadaannya, gadis itu merasa Bu Tanti tak menganggap kehadirannya. Beliau tidak menolaknya, tetapi tak mengacuhkannya sama sekali.

"Liam tidur?" tanyanya sambil mengelus pelan pipi tembam cucunya.

"I---"

Belum sempat Reina menjawab, Bu Tanti memotongnya. "Tristan, bawa Liam ke kamar Mama saja. Mama sudah nyalain AC untuknya."

"Baik, Ma." Tristan mengambil alih Liam dari gendongan Reina lalu berjalan dengan hati-hati - takut Liam terbangun - meninggalkan Reina dan ibunya.

Bu Tanti membalikkan tubuhnya lalu berjalan ke dapur. Sementara Reina kebingungan langkah apa yang harus diambilnya. Mengekor ke dapur tentu saja tidak sopan. Langsung duduk di ruang tamu juga sama tidak sopannya - sebab tuan rumah tak mempersilakannya masuk.

Maka, gadis itu berdiri di teras. Pura-pura melihat sekeliling halaman luas yang ditanami pohon mangga dan jambu air agar tak terlihat canggung dan menyedihkan.

"Reina? Kenapa di luar? Ayo masuk!" ajak Tristan.

Reina meringis pelan lalu mengangguk kecil. Dengan langkah ragu, gadis itu masuk.

"Sepertinya Ibu lagi masak. Apa sebaiknya aku pergi bantu ya?" tanya Reina - suaranya terdengar ragu dan takut.

Di satu sisi, ia tak nyaman jika hanya duduk sementara sang calon mertua sibuk di dapur menyiapkan makanan di dapur. Di sisi lain, ia juga bingung bagaimana bersikap jika ia memutuskan untuk menyusul Bu Tanti di dapur. Bagaimana kalau Bu Tanti menolak bantuannya? Atau lebih parahnya, mengabaikannya seperti tadi?

"Boleh. Kamu bantu Mama saja. Aku temani Liam di kamar ya, takut Liam jatuh dari ranjang. Kamu nggak apa-apa kan?"

Reina mengulas senyum tipis. "Nggak apa-apa. Kamu temani Liam saja, takut nanti jatuh," ujarnya, berusaha terdengar wajar. Dalam hati, ia ragu mampu memaksa kedua kakinya melangkah ke dapur.

Begitu Tristan akhirnya kembali ke kamar, Reina menatap lurus ke dalam rumah. Berkali-kali ia menarik napas dalam kemudian menghelanya dengan keras. Berusaha merontokkan keraguan yang bercokol di dadanya.

"Semoga Bu Tanti mau menerima bantuanku," gumam Reina sambil mengambil langkah pertama.

Krek.

Reina sontak menoleh ketika mendengar suara pintu di dekatnya terbuka. Rupanya Tristan.

"Kok keluar lagi? Ada yang ketinggalan di mobil?" tanya Reina.

Pria itu menatap Reina sejenak. "Nggak. Aku barusan bikin benteng guling di sekeliling Liam. Harusnya aman." Tristan menjelaskan tanpa dipinta. "Yuk, kutemani ke dapur," katanya seraya menempelkan telapaknya ke punggung Reina, mengisyaratkan gadis itu untuk melangkah.

Reina menunduk, menyembunyikan senyum di wajahnya.

***

Bu Tanti menurunkan sendok dan garpunya setelah mendengar ucapan Tristan. Buru-buru ia menyambar gelas bening di sisi kanannya lalu meneguknya cepat.

"Tristan," ucapnya.

"Ma, Tristan harap Mama merestui hubungan kami." Tristan berkata dengan nada tegas. Tidak terdengar tengah memohon.

Sementara Reina hanya membatu dengan kedua tangan yang masih memegang sendok dan garpu, menggantung di udara. Ia bahkan lupa untuk menurunkan kedua lengannya. Gestur calon mertuanya membuat Reina menciut seketika. Ia bahkan sampai takut untuk bernapas.

"Tristan yakin Reina bisa menjadi ibu yang baik untuk Liam, seperti yang Mama inginkan kan?"

Bu Tanti tak menjawab. Ia masih terlihat bingung. Entah harus menjawab apa. Ia sangat tahu karakter Tristan. Anak laki-lakinya itu sejak kecil sangat keras kepala. Jika ia telah memilih A, kecil kemungkinan bisa membujuknya untuk memilih B. Jika saat kecil pilihannya adalah mengenai mainan. Ketika remaja adalah tentang pilihan sekolah. Dan beranjak dewasa, soal jodoh pun ia sangat tegas pada pilihannya. Bu Tanti sangat tahu karakter putera kesayangannya itu.

Tetapi, Reina bukanlah tipe menantu yang ia inginkan.

"Selesaikan dulu makannya ya," kata Bu Tanti setelah berhasil mengendalikan emosi. Ia berusaha mengulur waktu untuk mencari jawaban yang tepat atas permintaan puteranya.

***

Mr. SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang