8

8.2K 599 25
                                    

Tristan berdiri lama di depan kamar 518. Kira-kira dua puluh menit pria itu gelisah menatap pintu coklat tua di hadapannya. Tak mudah bagi Tristan untuk membuat pilihan ini. Sebuah keputusan besar kedua, setelah sebelumnya nekat menikahi Hani tiga tahun silam. Kini ia harus membangkang ibunya lagi.

Tristan selalu berusaha menjadi anak yang berbakti. Tetapi untuk urusan jodoh, pria tiga puluh empat tahun itu tak ingin campur tangan ibunya. Walaupun pilihannya kali ini tidak berdasarkan cinta - seperti dulu ia menikahi Hani - tetapi tetap saja ia tak ingin diintervensi siapapun. Terlebih, pasangannya kali ini tidak hanya untuk dirinya melainkan untuk Liam.

Ting tong!

Tristan menghembuskan napas lega setelah berhasil menekan tombol di samping pintu. Telunjuknya membeku puluhan detik di sana. Ia membasahi bibir, terlihat gugup. Tanpa dapat dicegah, berbagai kemungkinan buruk terus berseliweran di kepalanya. Bagaimana jika Reina menolak lamarannya? Bagaimana jika ia tak berhasil membujuk gadis itu?

***

Reina menggaruk kepalanya dengan malas sambil menguap lebar. Ia merentangkan kedua lengannya ke atas dan menguap sekali lagi. Efek habis dipecat membuatnya tak bisa tidur semalaman. Reina baru akhirnya memejamkan mata sekitar pukul tiga dini hari. Cukup sukses membuatnya terserang mata panda dan bangun kesiangan !

Reina memang tak berencana bangun awal. Niatnya, hari ini ia akan bermalas-malasan seharian di kamar, mengumpulkan tenaga untuk kembali menelusuri daftar lowongan kerja di situs online.

Tetapi, bunyi bel membangunkannya. Mengganggu masa hibernasi gadis itu. Semacam tersetrum jutaan watt, Reina tersentak bangun. Matanya membelalak sejenak kemudian memejam kembali. Tak sampai lima detik, Reina bangkit.

"Kayaknya ada bunyi bel ? Atau aku cuma mimpi ya ? " gumamnya sambil menggaruk-garuk kepala dengan malas.

Ting tong !

Mau tak mau, Reina bangkit dari ranjang, masih setengah sadar. Sama sekali tak berpikir tentang siapa yang membunyikan bel di waktu sepagi ini - pukul delapan.

Reina mengucek matanya lalu sedikit berjinjit untuk mengintip dari lubang pintu.

"Hah?"

Reina memundurkan wajahnya lalu mengucek matanya sekali lagi. "Pak Tristan?!"

Buru-buru, Reina berlari kecil ke arah cermin. Membersihkan sudut-sudut mata lalu menepuk-nepuk pelan kedua pipi dan menyisir rambutnya dengan jari. Memastikan penampilannya tak semengerikan barusan, Reina akhirnya membuka pintu. Masih dengan ribuan tanda tanya bergelantungan di atas kepalanya.

"Apa Pak Tristan menyesal telah memecatku? Jadi pagi-pagi datang untuk memintaku kembali?"

Reina membuka pintunya dengan hati-hati. Ia memunculkan kepalanya, tak ingin sang bos - lebih tepatnya mantan bos - melihat penampilan terkucelnya pagi ini.

"Pa-pagi, Pak Tristan."

"Pagi." Tristan menyahut pendek.

Kemudian sunyi mendadak, seolah seekor gagak tengah melintasi mereka.

"Ng... ada apa, Pak?" tanya Reina sopan.

"..." Tristan tak langsung menjawab. Kini ia menyesali keputusannya untuk datang pagi - terlalu pagi malah, sampai-sampai gadis itu bahkan baru bangun.

"Maaf, saya baru bangun, Pak." Reina menjelaskan tanpa dipinta, sambil menyengir kuda.

Tristan berdeham pelan. Ia terlihat berpikir sejenak sebelum berbicara.

"Mm... Apa kamu keberatan jika kita bicara di dalam?" tanyanya hati-hati. Tristan tak ingin Reina menganggapnya pria mesum. Tetapi ia juga tidak merasa nyaman jika harus berbicara di tempat umum seperti kafe atau restoran.

"Maksud Pak Tristan?"

"Ada yang ingin saya bicarakan. Apa kamu keberatan jika kita bicara di dalam?"

Reina terdiam sejenak. Tentu saja ia keberatan. Masih sangat jelas di ingatan gadis itu tentang betapa kurang ajarnya Aditia, mantan atasannya, saat mereka di hotel. Tetapi dengan tololnya, Reina menggeleng lalu membukakan pintu untuk Tristan. Sedetik kemudian, gadis itu menyesali keputusannya ! Ia lupa bahwa dirinya hanya mengenakan kimono handuk mandi yang disediakan hotel sebab ia kemari tanpa membawa apapun.

"Saya permisi sebentar, Pak." Buru-buru Reina mengacir ke kamar mandi untuk mengenakan dress biru muda yang kemarin dipakainya dan mencuci muka.

Jantungnya berdegup kencang. Gelisah. Ia takut kejadian bersama Aditia kembali terjadi.

Dengan cepat, Reina menggeleng. Pak Tristan bukan pria seperti itu, pikirnya.

Semoga.

Tristan duduk di sofa coklat dekat cermin, terlihat segar dengan kaos hijau muda yang dipadu dengan jeans hitam. Sangat kontras dengan Reina yang berwajah sembab walau berbalut gaun indah di tubuhnya.

"Ada apa ya, Pak ?" tanya Reina hati-hati.

Tristan tak langsung menjawab. Matanya sibuk memandang ke sekeliling kamar. Terlihat berantakan untuk ukuran seorang gadis yang menginap tanpa membawa banyak barang. Lihat saja bedcover yang bergulung tak jelas hingga sprei kusut maksimal. Sangat berbeda dengan gaya tidur Tristan yang rapi. Ia selalu bangun dengan bedcover dan sprei yang nyaris seperti tak pernah ditiduri. Pandangan Tristan beralih pada meja rias dekat sofa. Kemasan kotak dan kaleng bekas minuman dibiarkan begitu saja di atas meja.

Tiba-tiba saja, dada Tristan berdesir aneh. Degupan jantungnya yang normal mendadak saja mulai berpacu kencang. Ini pertama kalinya ia melihat sisi lain Reina...

...yang mirip Hani.

*
Author:
Hai... Hai... Mr. Sun update lagi! Karena banyak yang komentar di part 7, saya jadi semangat buat lanjutin ^0^
Jangan lupa untuk vote, komen dan share ke teman-teman yang lain ya... Makin rame, diusahakan akan diupdate lagi :D

Mr. SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang