9

1.7K 139 1
                                    

Sampai di Korea kami hanya punya 2 minggu libur. Aku habiskan hari liburku yang singkat ini di rumah keluargaku. Membagikan oleh2 untuk seluruh keluarga termasuk Vivi. Aku tidak keberatan walau harus bertemu Papa dan Ibuku secara terpisah.

Aku menemui Ibuku di tempat kerjanya di salah satu rumah sakit di Seoul. Ibuku salah satu dokter spesialis anestesi di sana. Beliau yang bertugas membius pasien sebelum operasi.

Sejak kecil setelah pulang sekolah aku selalu ke rumah sakit sambil menunggu ibuku menyelesaikan shift kerjanya.

Dulu aku sempat bercita-cita menjadi seorang dokter. Namun, perpisahan orang tuaku membuatku sedih dan menari adalah caraku mengatasi masa-masa sulit itu. Walau sudah debut menjadi seorang artis, aku tetap kagum dan familiar jika berada di rumah sakit.

Aku mendatangi ahjumma bagian informasi yang sudah mengenalku dari kecil. Ia tersenyum melihatku datang. Memuji diriku yang tampan dan sudah dewasa. Aku sudah biasa mendengarnya hehe.
Aku menanyakan dimana ibuku padanya. Sangat disayangkan, ibuku sedang di ruang oprasi menangani pasien sedang bedah saraf. Akan memakan waktu sampai malam untuk menunggunya.

Akhirnya aku menitipkan oleh-oleh dari Jepang untuk ibuku pada ahjumma tadi.

"Oh boleh, Sehuna. Tapi sebelumnya, bolehkah aku minta tandatanganmu untuk cucuku di rumah. Ia sangat menyukai EXO", pinta ahjumma sambil menyodorkan kertas dan pulpen.

"Tentu saja boleh. Tapi ahjumma jangan menganggapku sebagai artis. Aku disini hanya seorang anak dari dokter anestesi. Tolong perlakukanku seperti biasa ya.", kataku sambil menandatangani kertas yang tadi diberikan lalu pamit pulang.

Aku kira aku akan menghabiskan waktu sampai malam dengan ibuku. Tapi sekarang aku punya 14 jam waktu bebas sebelum kembali ke SM.
Aku harus ajak seseorang main. Aku tidak mau menghabiskan waktu dengan sia2.

Aku berjalan menuju pintu keluar.
Aku sibuk mencari kontak orang yang bisa aku ajak main di ponselku sampai aku tidak melihat ada seorang bapak2 dengan kursi roda di depanku.

Aku tersandung sampai kami berdua terjatuh.
"Aigooo", kata kami berdua.

"YA! PAKAI MATAMU KALAU JALAN!", teriak bapak itu berusaha bangkit.

"Maafkan.. maafkan saya. Saya tidak sengaj... omo.", aku membungkuk berkali namun tiba-tiba terdiam saat melihat siapa yang aku tabrak tadi.

Aku membantunya duduk di kursi rodanya. Mataku terpaku padanya. Tanganku mulai gemetar.

"APA YANG KAU LIHAT? URUS URUSANMU SENDIRI!", teriaknya.
Seseorang dengan jas hitam tiba-tiba datang memberi tanda ke arahku untuk menjaga jarak. Lalu ia mendorong kursi roda bapak itu pergi.

Aku masih terdiam di tempat.
Orang itu.
Mafia yang bersamanya di bandara.
Bersama Irene.

Irene mungkin ada disini juga. Dimana dia? Apa dia disekap di mobilnya? Atau di rumahnya?

Aku berlari mengejar mafia itu. Mereka ke arah lift. Namun saat aku sampai di lift, mereka sudah menghilang. Ada 6 lift disini. Mana yang harus kudatangi?

Ada salah satu lift berhenti di lantai 3. Namun di lantai 3 aku tidak menemukannya. Aku mencoba ke semua lantai. Aku mencari di semua ruangan yang dapat dimasuki. Namun tidak menemukannya dimanapun. Mereka mungkin pergi lewat basement.

Aku merasa amarahku meningkat. Aku menendang tempat sampah di dekatku lalu terduduk merasa tak berdaya.

Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya? Wanita itu.. dimana dia sekarang.

Aku teringat sesuatu. Aku mengambil ponselku membuka bukti pembayaran tiket dan menemukan alamat email. Tanpa berpikir panjang aku mengirim email ke alamat itu.

SEHUN IRENE - Human NatureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang