3

2.5K 173 1
                                    

Aku seperti orang bodoh.
Mau-maunya aku ditarik wanita asing yang menggendong anak bohongan di tempat umum.
Aku menenggelamkan wajahku makin dalam pada syalku. Ottoke....

Akhirnya kami berhenti di ruang tunggu di gate pesawat yang agak sepi dari tempat lainnya. Kami berdua duduk di kursi paling depan menghadap jendela jauh dari orang2.

Langsung aku ambil kuplukku dari 'bayi' yang daritadi ia bawa.
"Ya!! Sebenarnya ada apa sih?", kataku sambil memasang kupluk.

Sepertinya dia melihat rambutku warna coklat dan bertanya, "kau siapa? Kau sepertinya orang terkenal. Atau kau salah satu dari 'orang-orangnya'?"

"Apa maksudmu 'orang-orangnya'? Siapa?" Tanyaku heran dan mengabaikan pertanyaan pertama.

"Ah sudahlah untuk apa aku cerita tentang masalah pribadiku pada orang asing.", katanya sambil melipat tangan.

Aku sudah terlewat penasaran dengan apa yang terjadi.
"Dengar, aku tadi ke ruang ganti popok karena mendengar suara teriakanmu, suara bentakan dari pria yang bersamamu, dan suara pukulan. Aku tidak ingin ikut campur tapi dengan satu penjelasan singkat pun aku akan pergi."

Dia mengusap pipinya saat kubilang 'suara pukulan'. Saat itu aku baru memperhatikan pipi kirinya merah sekali.

Ya ampun memang benar wanita ini mendapat kekerasan dari pria tadi. Aku tidak ingin terlibat. Tapi melihat seorang wanita kesakitan karena kekuatan pria tidak bertanggung jawab membuat hatiku sedih dan teringat masa lalu.

Masa lalu.
Ketika aku masih SD.

"Terimakasih karena berniat menolong.", kata wanita itu pelan membuyarkan lamunan masa laluku.

"Ya santai saja.", jawabku mulai melupakan rasa penasaranku.
Kami duduk tanpa saling berhadapan. Memandang lurus ke tempat parkir pesawat.

"Ngomong-ngomong. Namamu siapa?", tanya wanita itu.
"Kau pura-pura atau benar-benar tidak tahu siapa aku?", tanyaku heran.

"Memangnya seharusnya aku kenal? Apa cuma aku didunia ini yang tidak mengenalmu?"

"Sepertinya begitu", jawabku sambil menyembunyikan senyumku. Baru pertama kali sejak debut ada wanita yang umurnya tidak jauh dariku namun tidak mengenaliku. Dia pasti tinggal di luar negri.

"Ya maaf aku jarang nonton TV.", katanya sedikit nada menyesal yang dibuat2.

"Ini pertanyaan terakhir sebelum aku benar-benar harus berangkat ke Osaka. Aku tidak bisa tahan merasa penasaran dalam jangka waktu lama karena akan mengganggu tidurku dimalam hari. Jadi, tadi sebenarnya ada apa?", kataku mulai menghadap padanya tanpa kusadari.

"Hmm.. okay aku cerita sedikit hanya supaya kau tidak penasaran berkelanjutan." Matanya bengkak bekas tangis mulai menatapku. Sekarang kami berhadapan.

"Jadi orang tadi bukan ayahku. Dia hanya orang lain. Kami akan berangkat ke Macau. Dia akan berjudi disana. Kalau menang aku dapat receh uangnya. Kalau kalah aku dapat lebam dimataku. Tadi aku menolak untuk ikut namun anak buahnya mengikatku dalam mobil. Aku berhasil lari. Namun, ia menemukanku bersembunyi di ruang popok. Dia marah. Aku ditampar. Aku nangis. Kau datang. Selesai."

Tanpa sadar mataku membesar. Dengan kata lain orang tadi itu mafia. Untuk apa aku berurusan sama mafia ya ampun sepertinya aku salah menolong orang. Kenapa aku tidak mendatangi orang yang hampir gagal jantung atau semacamnya saja.

"Lalu kenapa kau masih disini? Keluarlah!", kataku agak panik.
"Tidak bisa. Semua pengawal menjaga semua pintu keluar bahkan pintu khusus karyawan sekalipun."

Aku diam. Berpikir. Oh iya kenapa tidak terpikir.
"Oh iya kau ikut ke Osaka saja!"
"Hah ke Osaka?? Apa kau gila. Kau tidak boleh terlibat. Kau hanya orang asing."
"Kau ke osaka bukan untuk ikut denganku. Tapi hanya sekedar lari darinya."
"Tapi tidak bisa. Aku bahkan tidak punya tiket"
"YA BELI ONLINE APA SUSAHNYA", tanpa sadar suaraku meninggi.
"Obenar", katanya teringat. Sepertinya wanita ini agak 'lemot'. Tapi sudahlah.

Dia mengambil ponselnya dengan panik. Dan tiba-tiba berhenti.
"Aku tidak punya aplikasinya..", katanya lemas.

"Ah cincaaaa...... ini pakai HP ku. Cepat"
Dia langsung menerima ponselku tanpa berkata. Dia pesan tiket yang sama denganku. Memasukan identitas dan emailnya. Mengisi semua formulir.

Namun tiba-tiba tangan seseorang menyambar tangannya. Ponselku terjatuh.
Aku hendak mengambil ponselku di bawah kursi sesaat wanita itu ditarik pergi dengan kasar oleh pria mafia tadi tanpa banyak bicara. Aku ingin menolongnya tapi semuanya terlambat. Genggaman pria itu terlalu kuat dan wajah wanita itu menggambarkan bahwa aku tidak boleh ikut campur demi keselamatanku sendiri.

Meninggalkanku sendiri. Hanya cup greentea latte yg masih ada isinya sedikit yang hampir tumpah karena ia ditarik tiba-tiba.
Aku hanya diam memandanginya pergi. Lalu aku mengambil ponselku yang terjatuh. Melihat layarnya.

Pemesanan tiket belum selesai. Dia hanya tinggal klik tombol "order ticket".

Aku terdiam. Aku tidak berdaya untuk menolong satu orang. Aku merasa tidak berguna.
Tanpa pikir panjang aku klik tombol order.
Ada konfirmasi pemesanan. Seluruh identitas dan harga tiket. 250.000won
Untuk keselamatan seseorang kenapa tidak.

Aku memeriksa identitas.
Ini dia.
Setidaknya ada informasi paling mendasar tentang dirinya.
Namanya.

Irene.

To be continued...

SEHUN IRENE - Human NatureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang