Jari dan kuku adalah dua hal yang saling berkaitan. Bukan hanya panjang, gemulai, lembut, mulus dan halus yang menjadi kriteria mutlak bisa dikategorikan sebagai syarat jari indah. Begitu pula dengan kuku, bukan warnanya yang merah merona atau pink fanta yang bisa menyilaukan mata. Tapi keindahan sesungguhnya terletak dari hati pemilik jari dan kuku itu sendiri, sejauh apa ia membawa jarinya untuk kebaikan. Dan salah satu dari pemilik jari dan kuku yang indah itu yaitu Maura.
"Aku ingin bisa terbang, agar aku bisa membawa Ayah, Ibu dan adik-adikku terbang ke tempat yang menyenangkan. Kalau aku sedang bersedih, aku bisa main ke awan. Menari-nari dan meloncat kesana kemari."
Tiada waktu dilewati tanpa khayalan tingkat tinggi Maura. Meski baru berusia enam tahun, kemampuan mengkhayalnya jauh diatas rata-rata anak seumurnya yang kebanyakan hanya memikirkan tentang boneka barbie impian atau bisa bermain rollerblade.
Entah mengapa, apapun yang dikhayalkan oleh Maura, akan menjadi kenyataan. Ia hanya perlu memikirkannya setiap hari dan berulang-ulang, kemudian menuliskannya ke dalam diary yang disebutnya "Buku Ajaib" dimana hanya dirinya dan Tuhanlah yang tahu apa saja yang ia tuliskan. Ia selalu menyimpan dengan aman atau sering pula dibawa kemana-mana. Setelah ia merancang proses realisasi khayalannya untuk menjadi kenyataan, ia harus melupakannya. Menutup bukunya dan bermain seperti anak-anak seusianya.
Memanjat pohon adalah hal yang sangat ia banggakan. Meski pada awalnya ia hanya pemanjat pemula, tapi dengan gesit dan cekatan kaki-kakinya yang panjang menaiki dahan-dahan pohon yang tidak terlalu kokoh. Ia pun melesat bagai kilat. Dia telah berada di puncak pohon. Sementara temannya masih bertahan di satu dahan saja. Setelah sampai di puncak pohon, ia memilih dahan terlebar dan terkuat untuk digunakan sebagai tempat ia berbaring di kala siang yang kerontang menyengat kulitnya yang kuning langsat.
"Wah, sejuknya tiduran disini, angin sepoi-sepoi, aroma daun yang mulai mengering dan ranting pohon yang mulai rapuh. Aku suka sekali disini." Maura melarikan diri setiap kali habis mendengarkan Ayahnya yang temperamennya sangat tinggi meski dihadapannya ada anak kecil, termasuk dirinya. Terkadang Maura menjadi sasaran amukan Ayahnya. Maura sangat takut. Ia lari sekencang-kencangnya lalu bersembunyi. Ia takut Ayahnya akan main tangan seperti di film yang pernah ia tonton bersama Ibunya. Tempat persembunyian yang paling aman dan nyaman baginya yaitu di atas atap rumah atau pohon Jambu Air yang berdiri kokoh di halaman rumahnya.
*
Hari ini Maura pulang sekolah lebih awal dari biasanya dikarenakan ada rapat para guru. Ia selalu ingin tahu apa yang tengah dibahas oleh para guru di sekolahnya, meski hingga detik ini ia tidak mendapatkan apapun dari rasa penasaran nya. Sebenarnya bisa saja kalau dirinya kembali ke sekolah diam-diam disaat yang lain sudah tiba di rumah masing-masing. Namun, ia selalu tergoda bila melihat dahan dan ranting yang bersatu menjadi sebuah pohon di halaman rumahnya. Bahkan, ia tak segan mengajak teman dekat sekelasnya, Nia. Ia tahu bahwa teman yang sudah seperti saudaranya itu anak yang tomboy. Tidak seperti dirinya. Meski suka memanjat pohon, Maura suka berpenampilan manis seperti anak kecil perempuan pada umumnya. Rambutnya lebih sering dikuncir dua dengan belahan tengah, belah pinggir atau berponi. Ia juga suka menghias rambutnya dengan jepitan rambut berwarna-warni dengan beraneka bentuk. Ia melakukannya sendiri. Tidak dilakukan oleh Ibunya. Justru ia sangat risih bila ada yang menganggu gugat riasannya. Bila ia tak suka dengan riasan rambut yang dikerjakan orang lain, ia tak segan-segan melepasnya dan membuat sedemikian rupa sesuai keinginanya. Maura terbiasa melakukan semuanya sendiri sejak masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Mandi, bersisir, memakai baju, memasukkan bekal ke dalam kotak makan, memakai kaos kaki dan sepatu, dll. Sebenarnya, ia mempunyai seorang pengasuh yang masih ada hubungan keluarga dengan Ayahnya. Tapi entah mengapa ia sangat kesal dengan pengasuhnya itu yang pernah salah memakaikan seragam. Sejak itulah ia tidak butuh pengasuh. Dan benar saja, Diana sang pengasuh hanya mengurus adiknya, Riska.