Red Devil

10 0 0
                                    

Dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan RI, kelas 3 IPA 3 melibatkan Maura dalam mengurus persiapan lomba mading. Ia dipercayakan kembali oleh Guru Bahasa Indonesia untuk menjadi ketua koordinator lomba mading yang mewakili kelasnya. Beliau telah mengetahui kredibilitas Maura sejak SD. Bisa jadi dia dipromosikan oleh Hilda dan teman-temannya.

Maura membawa karton berwarna hitam, kertas origami warna-warni, lem kertas, gunting, pena jelly warna-warni dan glitter.

Maura memberi instruksi kepada Hilda untuk membuka gulungan karton dan menyiapkan materinya.

Sudah lebih dari sepuluh tahun Maura mengenal Hilda. Ia sering satu kelas dengan Hilda. Saat TK nol besar, kelas 1-6 SD, kelas 3 SMP, kelas 1 dan 3 SMA. Maura juga dekat dengan Hilda sejak TK. Mereka sama-sama juara mewarnai tingkat nasional di era 90-an.

Maura juga tahu bahwa dia satu passion dengan Hilda dan punya selera yang sama. Hilda juga menyukai Iyan sejak kecil, hanya ia jauh lebih beruntung bisa bersahabat hingga detik ini. Tidak seperti dirinya yang hanya memantau dari balik layar.

Tidak sampai satu jam, mading pun selesai. Semua teman Maura memuji hasil karya mereka.

"Siapa yang punya konsep, Hil?."

"Maura, Bu."

"Wah, bagus sekali, Maura. Semoga kelas kita menang lomba mading. Oh, ya bukannya kau juga ikut lomba membaca puisi dan pidato Bahasa Inggris?."

"Oh, Iya. Untung Ibu mengingatkan. Teman-teman, aku pergi dulu ke ruangan perpustakaan."

Maura tergesa-gesa menuju lokasi lomba membaca puisi.

*

Tiba giliran Maura untuk membaca puisi. Maura sudah menguasai teknik membaca puisi yang baik. Ia mencuri ilmu Seza teman satu kelasnya saat kelas 1 SMP.

Mereka juga saling berbagi cerita dan pengalaman mengenai puisi. Hal itulah yang membuat dirinya sangat akrab dengan Seza, bahkan dengan Ayah dan Ibunya. Sayangnya, Seza beda SMA. Meski demikian, mereka masih bersama. Satu kelas di tempat kursus Bahasa Inggris.

Interpretasi Maura ditutup dengan adegan berlutut di lantai. Semua peserta dan penonton bertepuk tangan.

Maura segera kembali ke kelas. Maura tersenyum. Ia optimis akan menang lomba membaca puisi.

Maura menghafal teks pidato Bahasa Inggris sambil berjalan menuju kelasnya.

Ia tampak seperti sedang bicara sendiri.

Baru saja memasuki kelasnya beberapa langkah, ia mendengar suara tawa anak-anak cowok yang mengejek mading karyanya.

"Apa ini?begini dibilang bagus?. Jelek dan kuno seperti ini."

"Hey, memang kuno. Itu kan temanya classic. Jadi memang sengaja dibuat seperti itu."

"Bubar, bubar. Maura sudah datang."

"Kalau memang jelek, mengapa masih kau pegang?."

"Galak amat, Non."

Maura pantang menatap mata pria manapun sejak ia kecewa dengan sikap Iyan, Aim dan Iyas. Ia takut benteng pertahanannya lemah di hadapan lelaki.

Tapi hari ini ia sengaja melihat kemudian menatapnya lekat-lekat.

Da*m, He's enough cute.

"Apa-apaan ini?. Apa dia teman sekelasku?."

"Sana, kembali ke meja kalian saja. Aku mau duduk."

Sementara cowok yang wajahnya mirip Dimas Beck tersebut menatapnya dari jauh. Entah apa yang dipikirkannya.

**

"Awas saja, Kau devil. Kalau memang mading karyaku jelek, apa dia bisa buat yang lebih bagus?bahkan sangat bagus?. Belum tentu!!."

"Ada apa, Ra?."

"Ada yang mengejek karya kita dan dia menghina pemilik konsep. Itu berarti ia menghinaku. Siapa sih dia?, sok cakep begitu."

"Oh, dia Deny. Temanku sejak kecil. Rumahnya di belakang rumahku."

"What?bagaimana bisa?."

"Ayahnya dosen juga sama seperti Ayahku. Satu kantor."

"Stop, stop. Aku tidak mau tahu lagi tentangnya. Aku tidak akan pernah mau berteman dengan orang sombong seperti dia. Kelihatan sekali ya, kurang kasih sayang. Lihat tuh, caper sana-sini."

"Hati-hati, nanti jadi naksir."

"Semoga tidak. Tidak akan terjadi."

"Jangan sampai kau menelan ludahmu sendiri."

"Bagaimana ceritanya aku bisa naksir dia. Bukan tipeku."

"Jadi, tipemu seperti Iyan?," Hilda seperti sedang menyelidikinya.

"Ah, itu dulu. Sekarang sudah tidak."

"Apa kau yakin?. Sekarang dia kuliah di Bandung. Jurusan teknik penerbangan. Dia mengikuti program akselerasi di sekolahnya."

"Dia ingin jadi pilot?."

"Sepertinya tidak. Mungkin jadi insinyurnya saja."

Maura menatap jauh, sebenarnya ia sangat merindukan Iyan. Tapi, ia tidak punya keberanian lebih untuk mendekatinya, apalagi bermimpi bisa memilikinya. Meski terkadang perasaan aneh berupa keyakinan kuat dia akan berjodoh dengan Iyan, suatu hari nanti.

Maura terpaku. Ia menangis sesenggukan.

"Ada apa, Maura?."

"Tidak. Aku hanya sedikit sedih."

"Apa kau merindukan Iyan?. Nanti akan ku sampaikan salam darimu untuknya, itupun kalau mau."

"Jangan, Hil. Aku tidak ingin mengingatnya. Kau ingat bukan kejadian waktu kelas 3 SMP, di surat itu."

Palembang, 8 Desember 2002

Kepada YTH Wanita Terjelek Sedunia

Aku ingin menanyakan apa maksudmu mengikutiku saat pulang les kemarin sore?. Aku ingatkan padamu kalau aku sangat tidak suka diikuti olehmu.

Dan aku ingin tahu apa maksudmu memberikanku kado waktu itu?.

Trims

Maura kesal, sedih dan menyesal pernah mengikutinya di senja itu. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Iyan tak menginginkan kehadirannya.

Maura bersumpah suatu saat Iyan akan sangat membutuhkan pertolongannya. Entah kapanpun itu dan bagaimanapun caranya.

Tiba-tiba ia menyadari sesuatu,

Maura melihat ada yang mengukir nama di mejanya. Inisial RD.

***

Entah mengapa Maura penasaran siapa itu RD. Karena meskipun samar-samar, ia bisa membaca guratan halus di meja belajarnya. RD & M.

"Apa M itu untuk Maura, yaitu diriku?."

Maura meminjam buku pelajaran Kimia milik Hilda karena miliknya tertinggal.

Meskipun masih muda, Maura sangat pelupa. Ia menemukan coretan pensil "Red Devil", di buku milik Hilda.

"Hil, siapa yang terakhir meminjam bukumu?."

"Deny."

"Astagaaaaaaaaaa."

Benar saja, ia melihat Deny masih memegang pensil.

And the new story goes

*****

My Complicated Love Story Where stories live. Discover now