Sejak pertemuan antara Maura dan Deny di cafe, Maura mematahkan chip kartu providernya kemudian mengganti dengan nomor yang baru. Seperti biasa, Maura mewanti-wanti Hilda untuk tidak membocorkan nomornya lagi kepada Deny.
Hilda sudah lega karena sahabatnya itu berbaikan dan tidak terjerembap di lubang yang sama. Hilda ingin Maura bahagia, tanpa bayang-bayang Iyan apalagi Deny.
Maura kuliah di jurusan yang sama meski di kampus swasta karena di Palembang belum ada jurusannya di universitas negeri manapun di kota kelahirannya itu. Maura aktif berorganisasi, melakukan bakti sosial dan gabung di komunitas blogger di kotanya yang sering melakukan berbagai kegiatan positif. Hal itu tentu mampu membuatnya bisa melupakan Deny dan Iyan perlahan-lahan.
"Ra, nanti langsung saja ke Panti Asuhan Doa Ibu, kalau kau tidak tahu jalannya nanti kau telepon saja aku."
"Ok, Kak."
Penelepon di seberang menutup telponnya.
Maura bergegas menuju TKP untuk acara menyantuni anak yatim piatu di panti asuhan rekomendasi teman satu komunitas dengannya.
Mencari panti asuhan sebagai tempat menyalurkan bantuan bukanlah perkara mudah, calon pendonor harus benar-benar hati-hati dan teliti menyikapi pemilik panti asuhan fiktif. Harus dilakukan semacam survei dan uji kelayakan sebelum memberikan bantuan, atau, sumbangan akan jatuh ke tangan yang salah.
Maura menggunakan kerudung instan tapi menutupi dadanya berwarna coklat dengan bordir bunga. Maura juga mengenakan kaos komunitas yang menaunginya selama beberapa bulan ini.
Maura pergi naik angkot kemudian berjalan menuju panti asuhan. Entah bagaimana caranya dia bisa sampai di panti asuhan dengan selamat.
Maura memberi salam, kemudian menyapa anggota komunitas lainnya yang mayoritas laki-laki. Maura tak sedikitpun menggubris pria yang mencoba mendekatinya. Ia selalu menghindar dan memilih diam serta menutup diri. Ia hanya berbicara bila diminta.
Maura merasa sangat damai hatinya bisa berada dan menolong sesama manusia yang membutuhkan uluran tangan dari orang-orang seperti mereka. Betapa dia mensyukuri nikmat yang telah diberikan Pencipta atas semua yang dia miliki. Patah hati soal biasa, banyak anak-anak yang tidak tahu siapa orang tua mereka sama sekali yang dikumpulkan di sebuah rumah yang tak jarang bangunan tua dan sederhana.
Maura memperhatikan anak-anak yang bergegas untuk makan. Wajah mereka sangat berseri-seri menatap pada nasi kotak yang jumlahnya puluhan yang dibawa oleh rombongan komunitas.
Ada anak perempuan yang menarik perhatiannya, masih lugu, penampilannya sedikit berbeda yang agak lebih bersih dan wangi. Maura mendekati anak yang berusia dua tahun tersebut.
"Halo, Sayang namanya siapa?."
"Fatimah, Kakak."
"Oh, Fatimah sedang apa?."
"Mewarnai," sambil menunjukkan buku mewarnai yang didapatkan dari sumbangan donatur.
"Sudah sekolah belum?."
"Belum. Kan Fati baru dua tahun."
Anak yang didekati Maura berbicara dengan lancar meski dengan terbata-bata karena menahan malu.
"Sini boleh kakak bantu mewarnainya?."
"Boleh."
"Nah, Fati.. Kalau mewarnai itu tidak boleh acak-acakan dari sini terus kesini dan kesini, tapi mewarnainya satu arah saja. Krayonnya boleh ditekan tapi jangan terlalu kuat agar tidak patah. Nah, gambar yang masih ada warna putihnya diisi lagi dengan warna yang sama ya?, jangan sampai ada yang bolong-bolong warnanya."