Sudah tiga tahun Maura di Sekolah Menengah Pertama yang bukan pilihannya namun tidak pula ia menolaknya. Hidupnya seakan tidak bergairah.
Setahun lalu, Iyan pindah sekolah, tapi ia tidak meninggalkan pesan atau apapun yang menjelaskan kepergiannya.
"Sepertinya Iyan sudah lupa denganku. Setidaknya ia mampir ke kelasku memberitahuku. Ah, apalah aku ini?. Apalah arti aku di matanya."
Saat ini Maura telah duduk di bangku kelas 3 SMP. Itu berarti ia akan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Ia menginginkan sekolah yang baik, meski tidak bisa yang terbaik. Lagi-lagi ia tidak ingin menyusahkan orang tuanya. Sekolah terbaik identik dengan biaya yang besar pula.
Maura hanya mengikuti arus, kemana ia akan bermuara. Tanpa penolakan, tanpa perlawanan. Begitulah hidupnya. Menerima semua takdir untuknya.
Di suatu siang yang mendung sama seperti hatinya, Maura bagaikan menang undian bernilai ratusan juta. Senang tiada terkira. Siapa menyangka bahwa Maura satu tempat bimbingan belajar dengan Iyan.
Maura melupakan kemungkinan seperti itu. Maura berjalan menunduk mengukur jalan. Iyan melihatnya dari kejauhan.
"Nah, Maura Zara?."
"Hai, Iyan."
"Kau disini juga?."
"Kau masih ingat denganku?."
"Iyalah. Kau kan temanku."
Apa predikat sahabat sudah meluntur menjadi teman karena terpisah oleh jarak?. Maura seakan tak peduli dengan hal itu. Ia tersenyum sendiri. Menikmati masa-masa pemulihan rasa rindunya kepada Iyan.
Bagai kemarau panjang dihapus oleh hujan sehari. Kesedihan Maura musnah seketika. Ia tambah semangat belajar. Sebenarnya Maura sangat senang belajar, walau ia hanya mencintai pelajaran Bahasa Inggris, keterampilan dan kerajinan tangan dan Bahasa Indonesia. Dengan ketiga mata pelajaran tersebut ia merasa mampu mengaktualisasikan dirinya secara maksimal.
*
Maura membuka buku barunya. Ia menuliskan betapa ia sangat berterima kasih kepada Sang Pencipta yang telah menemukan ia kembali kepada cinta pertamanya.
"Apa iya dia jodohku?." Maura selalu meyakini bahwa Iyan akan menjadi jodohnya suatu hari nanti. Entah kapan dan dimana.
Maura lupa membawa buku ajaibnya saat jam istirahat. Teman sebangkunya membaca isi buku yang bersampul winnie the pooh berwarna merah muda. Kado dari sahabatnya di kelas 1 SMP, juga sebagai ucapan terima kasih karena Maura sering menggambarkan winnie the pooh untuknya. Sekarang sahabatnya sudah pindah ke sekolah yang sama seperti Iyan.
Maura berang, ia mengejar teman sebangkunya itu.
"Tini... Kembalikan bukuku."
"Apa kabar Iyan?."
"Cepat, kembalikan," Emosi Maura sudah naik ke ubun-ubun. Darahnya seperti mendidih. Ia sangat murka.
"CEPAT KEMBALIKAN."
"Maura?, kau bisa marah juga ternyata. Takuuuutt."
"MAKANYA KEMBALIKAN."
Terbongkarlah sudah semua rahasianya hari ini.
Bisa tamat riwayatnya bila Hilda mengetahuinya. Maura satu kelas kembali dengan Hilda.
Namun sejak itu Maura banyak mengetahui informasi terbaru tentang Iyan.
"Please, Hilda. Jangan cerita dengan Iyan."
"Iya. Tapi satu kelas sudah mendengarkan semua."
"Aku tak peduli."
"Mau diletakkan dimana mukaku?."
Guru pelajaran Ekonomi sudah memasuki kelas. Maura diberi tugas untuk mencatat di papan tulis. Entah mengapa sejak SD Maura sering ditunjuk menjadi sekretaris kelas. Padahal tulisan yang lebih bagus darinya banyak.
Tulisan tangan Maura tidak hanya bagus namun rapi. Mungkin karena ia sering menulis bukunya sehingga setiap orang yang melihat tulisannya akan berdecak kagum, bahkan ada saja dijadikan alasan oleh teman sekelasnya untuk menulis hal-hal penting seperti mengisi formulir, dll.
Guru Ekonomi masuk kembali ke kelas. Ia mengecek sudah sampai mana Maura menulis.
Saat Maura ingin menghapus isi papan tulis yang sudah dicatat oleh teman-temannya, Gurunya berkomentar "hey, Dik?."
Maura heran gurunya memanggil siapa. Ia pun menoleh"ada apa, Pak?apa Bapak memanggil saya."
"Ya. Perhatian... Beruntung sekali orang yang menulis dengan memegang alat tulis dengan cara seperti adik ini."
Maura hanya mendengarkan sambil melanjutkan tugasnya.
"Dia tidak akan pernah kekurangan uang seumur hidupnya."
"Amiiiinnn."
**
Apapun yang ditulisnya tidak hanya menghasilkan tulisan tangan yang bagus, tapi juga bermanfaat. Tak heran bila dia ditunjuk oleh guru Bahasa Indonesia sebagai ketua mading dan cerpen karya-karyanya dimuat di papan mading.
"Tapi masih banyak tulisan teman lain yang jauh lebih bagus."
"Kau harus percaya diri, Maura. Ibu percaya kau bisa memegang tugas ini."
"Baiklah, Bu."
Guru Bahasa Inggris pun sangat bangga dengan Maura. Tampak sekali hanya dia yang mempunyai semangat belajar bahasa Inggris yang sangat tinggi. Maura selalu membawa kamus besar Bahasa Inggris, kado ulang tahun ke-9 dari Ayahnya. Ia rela kamusnya harus berkeliling di beberapa kelas dan banyak teman karena dipinjam pada saat pelajaran Bahasa Inggris.
"Oh, ini yang namanya Maura Zara."
Maura hanya tersenyum kaku.
***