"Hai, kau Maura, ya?"
"Ya."
"Kenalkan, Namaku Ibrahim. Panggil saja Aim."
"Kok kau tahu namaku?."
"Aku tahu dari temanku Salman. Ia cerita kalau teman satu kelasnya juga les disini."
"Ada apa ini?. Mengapa aku merasa kupu-kupu beterbangan di perutku?. Apa mungkin dia jodohku?. Ah, belum tentu. Tapi apa maksud getaran ini." Maura hanya tertunduk malu.
"Mukamu merah, Ra. kau malu, ya?."
"Hah?, ah bukan. Mukaku kalau kena panas matahari memang suka begini. Merah seperti kepiting rebus," jawabnya asal.
"Kau alergi seafood mungkin."
"Bagaimana kau tahu?."
"Salman menceritakannya padaku."
"Astagaaaaaa. Apa-apaan Salman. Awas saja dia. Buka-bukaan dengan orang baru."
"Tapi dia sahabatku sejak masih anak-anak."
Apa maksudnya?.
Tiba-tiba Iyan melintas di hadapan mereka berdua.
Iyan hanya menatap tajam pada Ibrahim. Ia menatapnya seperti melihat rival dalam memenangkan hatinya Maura.
"Sudah lama kau les disini?."
"Baru. Sejak naik kelas 3 ini."
"Kalau kelas 1 dan 2 dulu kau les juga?."
"Ya. Kelas 1 dan 2 aku les, tapi hanya Bahasa Inggris saja."
"Tentu kau pintar Bahasa Inggrisnya, ya?."
"Apa Salman menceritakannya juga padamu?."
"Iya. Aku tahu semua tentangmu."
Jujur, Maura sangat tidak suka dengan dua hal dari cowok, yang terlalu pasif dan terlalu agresif. Ia belum memberikan sinyal-sinyal pun Ibrahim sudah berani dan sok tahu banyak tentangnya. Maura sedikit ilfil. Tapi yang membuatnya terpesona, Ibrahim berhidung bangir, kulit putih mulus, beralis tebal dan bertatapan mata bagai elang. Wajahnya seperti keturunan Arab. Kriteria fisik yang diidamkan gadis sepertinya.
"Hari ini kau pulang dijemput tidak?."
"Aku tidak pernah dijemput."
"Bawa motor atau?."
"Aku belum berani bawa motor keluar komplek. Kalau mengendarai motor aku sudah bisa sejak kelas 6 SD."
"Jadi naik angkot atau bis?."
"Bis kota."
"Nanti kita pulang bareng saja, ya?."
"Lihat nanti, ya."
Bel masuk sudah berbunyi.
**
Iyan uring-uringan. Ia mengayun-ayunkan kakinya di lantai. Sesekali tangannya memukul keras di kursi lipat yang didudukinya.
Maura takut, apa iya Iyan cemburu?. Kalau memang cemburu mengapa tidak diungkapkan saja perasaannya sejak dulu .
Maura menoleh ke belakang. Iyan menatapnya sinis. Ia takut kejadian 6 tahun lalu terulang kembali. Maura takut kalau Iyan kembali membencinya.
"Ada apa denganmu, Iyan?."
"Tidak. Aku tidak apa-apa. Kenapa kau tadi senyum-senyum sendiri?. Itu apa yang kau lakukan?kau corat-coret bukumu. Dasar kau, menghabiskan tinta pena saja."
"Apa aku ada salah denganmu, Iyan?."
"Tidak ada. Sudah belajar sana dengan benar."
***
Seperti biasa, Maura menunggu bis yang akan dinaiki hingga menuju setengah perjalanan menuju tempat tinggalnya. Selanjutnya ia akan naik angkot hingga ke komplek.
"Maura, sudah lama menunggu?."
"Menunggu siapa maksudmu?."
"Menungguku dan bis."
"GR. Aku tidak menunggumu. Aku hanya menanti bis datang. Sepertinya bisnya sudah mulai sepi."
"Nanti aku antarkan kau sampai rumah."
"Hah?, tidak usah. Terima kasih."
Maura gelisah karena hari mulai gelap. Untung saja ada Ibrahim. Setidaknya ia masih mempunyai teman selama di perjalanan.
"Nah, itu dia bisnya. Ayo kita naik, Ra."
"Ya."
Ibrahim mencarikan tempat duduk untuk Maura. Sementara Maura hanya berdiri di tengah bis kota. Ia sudah terbiasa berdiri di tengah bis. Ibrahim memanggilnya.
"Ra, ini ada bangku. Kau duduk saja disini."
"Kau saja. Tidak apa. Aku disini saja. Paling nanti juga akan ada yang turun."
"Tapi jarak rumahmu cukup jauh, Ra dari sini."
Melihat Ibrahim setengah memaksa akhirnya ia duduk juga. Tak sengaja Maura melihat Ibrahim dari balik jendela. Cowok itu sedang tersenyum bahagia.
"Ternyata baik juga ya, Ibrahim. Sepertinya ia patut dipertimbangkan."
Hampir la belas menit akhirnya penumpang di sebelah Maura turun. Ibrahim langsung duduk karena sejak tadi ia berdiri di samping kursi penumpang sebelah.
"Kasihan, Aim."
"Mau permen?."
"Tidak. Terima kasih."
"Tidak usah takut permennya akan kuberi obat tidur atau pelet."
Maura tersenyum.
Ibrahim tertawa. Ia menatap wajah Maura lekat-lekat dalam jarak yang cukup dekat.
Maura kikuk. Ia salah tingkah. Getaran kembali bermain di jantungnya. Berdegup lebih kencang.
"Tak usah gugup begitu."
"Astaga ini orang GR amat?."
"Wajar donk kalau aku GR."
Bagaimana Aim bisa tahu???.
Hanya bis kota yang menjadi saksi bisu awal ceritanya.
****
Dear you
There was a new boy come with me. He introduced him self and asked me about some question.
I don't like his way, so aggressive. At least, till we know each other for along time, he may tell or ask me everything.
Damn, He's so cute.
Love love :D