Maura pulang dengan sejuta rasa. Seharusnya ia bahagia, memang dia bahagia. Tetapi ia juga bingung, bahkan sedih. Maura masuk ke kamar.
Ia mengempaskan tubuhnya di kasur empuknya. Mengambil guling, kemudian memeluknya. Ia sebenarnya mulai suka dengan Deny. Tapi, ada hal yang ia sulit mengerti. Ia tidak melihat masa depan bersama Deny. Tapi ia juga tidak ingin melepaskan Deny. Ia takut kalau ia menolaknya akan bermusuhan kembali. Hubungan baik yang selama ini dia bina akan rusak begitu saja dalam sekejap mata. Ia tidak ingin disakiti dan tak ingin menyakiti. Kalau ia terima ia akan disakiti suatu hari nanti. Kalau dia tidak terima, justru ia yang akan menyakiti perasaan Deny yang dianggapnya sudah berkorban demi dirinya.
"Lebih baik aku yang disakiti, daripada aku yang menyakiti. Jadi, kalau suatu hari berpisah, biar dia yang meninggalkanku. Agar dia tidak tersakiti."
*
Maura seakan tak peduli dengan kehadiran Deny. Dia terbayang dengan Iyan. Andai ia yang memintaku untuk menjagaku. Tentu aku tidak akan pernah menolaknya, apalagi meninggalkannya.
Maura menangis tersedu-sedu. Ia belum bisa melupakan Iyan. Dia dejavu, dulu dia yang ditinggalkan, ditolak, dihina. Itu sakit sekali rasanya. Jadi dia tidak ingin menyakiti Deny
Sepertinya Deny benar-benar membutuhkanku. Dia juga sebenarnya rapuh. Tapi ada apa dibalik sikap Deny yang kesannya dipaksakan dan dibuat-buat.
Deny kebingungan melihat Maura menangis. Ingin ia seka air mata di pipinya, tapi siapalah dia saat ini?. Gebetan bukan, apalagi pacar, jauh.. Deny hanya bisa memandangi Maura dari jauh, sama seperti Maura yang tidak punya keberanian dan hak untuk mendekati Iyan.
"Maura, kalau rasanya berat untuk menerimaku, aku tidak apa-apa."
Maura diam.
"Apa kau masih membenciku, Maura?."
"Tidak. Aku sudah lama memaafkanmu."
"Lantas, apa yang mengusik pikiranmu."
"Aku hanya......"
Deny kembali ke mejanya dengan langkah gontai.
Apa iya ini karma untuk Deny?. Deny tidak percaya karma.
**
Maura seakan tidak percaya bahwa kejadian hari ini adalah nyata. Ia seperti berada di alam mimpi. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini semua tidak mimpi.
Maura menampar wajahnya sendiri keras-keras.
"Au, sakiiiiitttt.. What a Stupid am I!."
Sekarang ia tahu bahwa dia tidak terjebak di alam mimpi.
"Ini semua nyata. Sekarang aku bahagia. Punya pacar paling tampan se-sekolah. Tidak, itu hanya bonusnya saja. Di balik sifatnya yang sombong itu ternyata ia begitu perhatian dan peduli padaku. Buktinya ia rela mengorbankan pipinya sobek demi diriku. Duh, maafkan aku ya, Iyan. Sekarang aku punya obat sepi."
Wake up, wake up. Bagaimana kalau semuanya hanya untuk sementara?hanya sampai kelulusan saja?. What a pity am I!.
Maura merasa bahwa dia seperti telah mengenal Deny sejak lama. Apakah mungkin ia teman lamanya atau bahkan tetangga saat di masa kecilnya. Entahlah, yang jelas ia merasa sangat dekat hatinya dengan Deny. Paling tidak ia mampu mengembalikan semangat hidup Maura yang sempat padam karena kecewa dengan cowok beberapa kali.
GOD, if he were my destiny, please don't separate us apart. I can't imagine if I live without his courage.
Maura.
***
"Apa mungkin aku bermimpi bisa menyatakan perasaannya kepada perempuan yang diincar banyak lelaki di sekolah?. Aim sepandai dan sekalem itupun tidak memenangkan hatinya. Aku tidak yakin ini nyata. Tapi ini benar-benar terjadi saat ini. Damn! I'm falling in love with my ex enemy. What a fortunate am I!."
Deny menceritakan hal ini kepada ayahnya yang blasteran Padang-Inggris.
"Dad, I want to tell with you that I've found a girl like my mom."
"Who is she, Boy?."
"My classmate. Sweetie classmate."
"Congratulations for you, you can introduce her with me someday."
"Yes, Dad. But in special occasion."
"Ya, terserah kau saja. Papa mendukung pilihanmu. Tapi apa kau Yakin akan bisa memulai hubungan hanya dengan satu hati?."
"C'mon Dad, she is different. I'll try."
****