"Maura, ape kabar, Cung?sihat? (Maura, apa kabar, Cu?sehat? (Maura, apa kabar, Cu?sehat?)."
"Au, Nek. Sehat (iya, Nek. Sehat)."
Neneknya memeluk dan mencium cucu dari anak kesayangannya itu dengan penuh suka cita.
Ibunya Maura seorang anak yang baik, tidak banyak maunya dan tidak banyak ulah. Ia juga penurut. Maura mewarisi sifat ibunya ini. Hingga tak heran bila neneknya membawakan banyak sekali oleh-oleh kesukaan Maura ketika mereka kembali ke Palembang meski tanpa diminta.
"Tia masuklah kudai. Cengkilah capek kamu due berading, nih (ayo, masuklah dulu. Tentu kalian dua beradik kelelahan)."
"Au, Nek. Pegal gale badan, enam jam lebih duduk baih di kursi bis (iya, Nek. Pegal semua badan, enam jam lebih hanya duduk saja di kursi bis)."
"Begintanlah baju kudai. Nining la udem masak untuk kamu makan (gantilah pakaian dulu. Nenek sudah masak untuk kalian makan)."
"Ok." Riska mengeluarkan kata-kata yang aneh di telinga Neneknya.
"Tuape Ok, tuh, Ris? (apa ok itu, Ris)."
"Au, Nek (iya. Nek)."
Riska sangat bertolak belakang sifatnya dengan Maura. Sangat cerewet, suka mengejek orang lain secara blak-blakan dan banyak maunya. Tapi, dia sangat menurut kepada Maura. Karena sejak kecil Maura selalu menjaga dan mengikuti kemanapun Riska pergi, karena Maura takut adiknya yang sangat tomboy itu hilang karena terlalu agresif. Pernah saat berusia dua tahun, Riska mengejar penjual es krim rumahan yang berkeliling menggunakan sepeda. Ia mengejar hingga ke perkampungan di sebelah komplek tempat mereka tinggal. Riska sudah menyeberangi jembatan kecil dan hilang dari pandangan mata. Maura menangis sesenggukan dan kembali ke rumah. Ia mengadu kepada Ibunya dan mengatakan bahwa Riska hilang mengejar Mamang Es pet-pet (karena bunyi alat yang digunakan sebagai ciri khas caranya berjualan).
Selain itu, Riska juga pernah mengejar mobil roti Bakery, memanggil dan segera menaikinya. Mengambil roti-roti dan menyuruh Ibunya membayar. Meskipun Maura sudah melarangnya karena takut Ibu sedang tidak punya uang atau marah, Riska turun dengan membawa sekotak besar roti bakery kesukaannya.
Setelah mengganti pakaian, Maura dan Riska makan malam berdua saja karena sudah lewat jam makan malam. Neneknya hanya duduk menunggui mereka berdua.
Maura sangat suka dengan masakan neneknya itu. Meskipun tekstur daging ayamnya belum terlalu empuk karena dimasak menggunakan kayu bakar. Ada lauk ayam opor dicampur kentang, sayur direbus dan sambal terasi yang sangat nikmat.
Maura sangat menghargai niat baik neneknya tersebut.
"Makan, Nek," Ia makan dengan lahapnya. Maura makan dengan menggunakan tangan yang telah dicuci sebelumnya. Sementara Riska hanya makan kentangnya saja.
"Ih, itu kan pedas, Ra."
"Tapi enak, tau!."
"Dasar orang dusun, makannya pakai tangan. Colek sambal pula."
"Hus, mulutmu itu dijaga. Makan pakai tangan itu jauh lebih berkah."
"Lah, memang kenyataannya, kan?. Nah, ada yang ceramah."
"Iya. Tapi kan kasihan nenek. Sama saja kau menghina nenek."
"Nining memang jeme dusun (Nenek memang orang desa)."
"Kau juga, Ris."
"Nggak lah yau. Kamu yang orang dusun. Aku tidak."
"Berani sekali lagi bicara, kutinggal kau sendirian disini. Aku akan pulang lebih dulu."