"Ra, sebenarnya ada yang ingin ku katakan padamu. Tapi sepertinya kau sibuk."
"Apa yang ingin kau katakan?. Katakan saja. Aku siap mendengarkan semua keluh kesahmu."
"Nanti saja. Mungkin aku akan mengirimnya lewat email."
"Apa ada hal penting sampai dia berat mengatakannya langsung?."
"Terserah kau saja, Den."
"Sore nanti bisa kau baca email dariku. Ra, apa kau marah padaku?."
Hening.
"Ra, maafkan aku tentang yang kemarin."
"Tidak perlu," jawab Maura setengah ketus.
"Jangan marah-marah nanti cepat tua."
"Memang seharusnya begitu, kan?apa yang kau tanam itulah yang akan kau tuai."
"Apa maksudnya?aku nggak ngerti."
"Tanyakan pada rumput yang bergoyang."
"Kau sepertinya masih kesal denganku, ya?. Dia itu bukan siapa-siapaku, Ra. Percayalah."
"Oh."
"Dia sepupu Ricky, kalau kau tak percaya tanya saja pada Ricky."
"Mungkin aku bisa percaya kalau Vira sepupu Ricky. Tapi bisa jadi dia mantanmu, gebetanmu, pedekate-an mu atau ....."
"Atau siapa?."
"Pacarmu."
Deny tidak sanggup menatap wajah Maura yang benar -benar marah. Maura hanya diam bila tidak ditanya atau dimulai percakapan. Maura tiga kali lebih diam dibandingkan dulu, sejak bertemu Deny dan...
"Vira itu teman sejak SMP, makanya kami dekat."
"Oh."
"Kau kalau marah jadi tambah manis, ya?."
"Sorry nggak ada uang receh."
"Uang besar saja."
Maura tak sadar, ia tersenyum. Deny sedikit lega. Ia takut akan membuat bunga di hati Maura yang sudah bermekaran sejak mengenalnya akan gersang bahkan akan mati kembali.
"Jadi, kalau begitu kita baikan?."
"Apa benar Vira bukan pacarmu?."
"Demi Tuhan dia bukan pacarku," Deny bersumpah, sementara ia menyilangkan jari telunjuk dan jari tengahnya di belakangnya.
"Ya sudah. Aku maafkan. Tapi kalau kau mengulanginya, sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa memaafkanmu."
Cahaya di wajah Deny redup seketika. Tatapan matanya nanar, menatap jauh menembus alam bawah sadarnya. Ia takut dengan peringatan yang sekaligus ancaman dari Maura untuknya.
Deny benar-benar jatuh cinta. Ia mengakui ia sudah bertekuk lutut di hadapan Maura. Baginya, Maura sangat istimewa. Ia menemukan sosok Mamanya pada diri Maura.
"Ra, Papa pernah bilang kalau dia senang denganmu. "
"Terus?."
"Ya, Papa bilang Maura itu anaknya sopan, pendiam, pemalu, alim, manis, dan...."
"Dan apa?."
"Dan Maura mirip Mama."
"Tipuan macam apa lagi ini?. Rasanya aku mau muntah."
"Wueeekkk.."
"Hey, jangan muntah sembarangan. Nanti kau difitnah orang banyak."
"Maksudnya?."
"Duh My Maura, nanti kau dikira tekdung lagi."
"Apa itu?."
"Pregnant."
"Amit-amit."
"Kalau nanti kita berjodoh, apa kau mau menjadi Ibu dari anak-anak kita?."
"Aku tidak mau terlalu berharap, Den. Aku takut kecewa. Harapan selalu mengecewakan."
Deny tertunduk lesuh sambil memainkan ponselnya.
"Kalau kau sibuk, kita pulang saja."
"Tidak. Aku hanya membalas pesan Ricky. Dia mengajak party."
"Dan kau menerimanya?.
"Ya, tidak," Deny menggaruk-garuk hidung dan dagunya yang tidak gatal.
Maura sudah hafal bahasa tubuh Deny yang telah berakting selama tiga bulan ini. Maura mencari informasi tentang bahasa tubuh dari buku-buku seri pengembangan diri yang menjadi minatnya selain desain grafis, sastra Inggris dan Indonesia.
"Dia pikir aku bodoh, apa?. Mungkin selama ini aku memang bodoh, tapi, aku tidak akan jatuh ke dalam lubang yang sama. Itu namanya keledai. Terlalu dungu."
"Apa kabar Iyan?."
"Mengapa tiba-tiba kau menanyakan tentang Iyan?. Kau tahu darimana namanya?."
"Aku tahu dari Hilda. Dia banyak bercerita padaku tentang cowok yang pernah kau sukai itu."
"Aku tidak berjumpa dengannya."
"Apa kau pernah jadian dengan Iyan?."
"Tidak pernah. Iyan hanya semu bagiku. Aku tidak layak untuknya."
"Tapi kau layak bagi semua pria."
"Dia sendiri yang pernah bilang kalau aku tidak pantas untuknya."
"Apa dia cinta pertamamu?."
"Iya. Aku menyukainya sejak kelas 2 SD. Dia itu bukan hanya manis, ia cerdas dan pintar. Iyan juga hafiz sudah lima kali saat SD. Dia kalangan the have, sedangkan aku hanya dari keluarga yang sederhana."
"Pasti beruntung orang yang menjadi suamimu."
"Yang menilai beruntung atau tidaknya itu kalau sudah menjadi suamiku. Bisa saja kan aku selama ini hanya berpura-pura kepadamu?. Aku mengatakan setia tapi ternyata diluar sana aku selingkuh?," Maura tersenyum penuh makna. Ia sengaja membuat Deny merasa sangat bersalah. Maura tidak akan pernah bisa memaafkannya dengan tulus, kecuali Deny bertobat dengan sungguh-sungguh.
"Aku yakin kau tidak seperti itu."
"Seyakin apa?."
"Seratus persen."
"Kepala boleh sama hitam, tapi hati orang siapa yang tahu. Aku tidak memintamu percaya padaku. Aku hanya minta kau terbuka dan jujur padaku. Apapun itu."
I love you.
Suasana menjadi hening antara Maura dan Deny. Mereka saling mencuri-curi pandang tapi tidak berkata apapun.
"Ra, apa kau mau memberiku kesempatan kedua?."
"Jangan tanyakan dulu hal itu padaku. Aku sedang tidak enak."
"Nggak enak badan?."
"Nggak enak hati, Den. Aku mau pulang dulu."
Deny mengantar Maura pulang ke rumahnya. Setiba di rumah, ia hanya menurunkan Maura, lalu langsung pulang. Tidak pamit sama sekali dengan Ayah dan Ibu Maura yang sedang sibuk di halaman depan rumahnya.
Penilaian Maura semakin mengarah ketidakyakinan terhadap Deny. Ia tidak suka dan tidak terima kedua orang tuanya diabaikan, sekalipun hubungan antara Maura dan Ayahnya kurang baik.