Ibu Maura telah masak dan menyiapkan makan siang. Ia selalu bekerja sendiri, tidak seorang pun yang membantunya. Tak terkecuali Maura, dia sedang giat-giat nya belajar karena sudah kelas 3 SMA. Ia tak hanya les MIPA, tapi juga kursus Bahasa Inggris dan les tambahan di sekolah.
Maura mudah terserang stress. Terlalu banyak hal yang menyita pikirannya. Pelajaran di sekolah, soal-soal materi persiapan ujian akhir dan SMPTN, tugas kursus Bahasa Inggris yang menumpuk dan masalah dengan Ayahnya.
Ayah sering memarahinya tanpa sebab. Semua kesalahan yang terjadi di rumahnya ditumpuhkan kepada Maura. Sementara Maura tidak tahu apa-apa.
Ayahnya juga mengatakan bahwa Maura sangat manja dan boros. Selalu meminta uang lebih bahkan hingga dua kali lipat banyaknya.
Maura bingung harus minta kepada siapa uang untuk membeli buku persiapan Ujian Nasional, fotocopy dan membayar biaya try out baik di sekolah maupun di tempat les MIPA.
Ayah selalu menyalahkannya. Ia mengatakan, bahwa Maura hanya menggunakan alasan-alasan di atas hanya untuk foya-foya.
Maura menangis sejadi-jadinya. Ia melempar apapun yang ada di kamarnya. Buku pelajaran, pena, kotak pensil, boneka dan ponsel. Ia kesal, ia tidak terima dituduh seperti itu, sekalipun oleh Ayahnya.
Maura pindah kamar sejak dibuatkan kamar baru di lantai dua, meski dengan ukuran kamar yang lebarnya tak sampai 3 meter. Ia mengalah demi Riska. Dia pikir, daripada makan hati seumur hidup karena bertengkar dan selisih pendapat dengan adiknya itu, lebih baik dia menghindar, menjauh dari pandangan matanya.
Riska semakin berulah, seperti kerasukan ia menuding Ibunya pilih kasih. Dia mengatakan dengan jelas bahwa Ibunya hanya sayang kepada Maura. Sedangkan dengan dirinya tidak.
Maura sakit hati mendengarnya. Ia tahu benar bagaimana pengorbanan Ibu demi kehidupan mereka semua. Maura lebih paham bagaimana sakitnya hati Ibu yang dimarahi Ayah karena difitnah menghambur-hamburkan uang untuk membeli keperluan pribadi Ibu, seperti baju, misalnya.
Maura jelas lebih mengetahui bagaimana penderitaan Ibunya selama hidup beliau.
Ibu selalu bercerita tentang betapa getir hidup yang ia lalui lebih dari dua dasawarsa lamanya, hanya Maura yang mendengarkan dengan baik. Ia selalu menatap wajah sendu Ibunya setiap beliau bercerita. Mendengarkan dengan seksama. Lalu mengambil hikmahnya. Sementara Riska, ia hanya mendengarkan dari telinga kiri lalu keluar begitu saja dari telinga kanannya, kemudian berlalu..
Maura tahu betapa hati Ibunya teriris, betapa ingin Ibunya menangis. Namun ia tetap tersenyum manis.
"Biarlah, adikmu belum mengerti keadaan Ibu dengan baik. Tidak mudah membuat seorang bisa benar-benar mengerti kondisi kita yang sebenarnya. Ibu sudah tidak ingin bercerita. Kau tentu sudah tahu bagaimana penderitaan Ibu selama ini."
"Sudahlah, Bu. Masih ada aku disini. Aku tahu Ibu tidak sepicik itu."
"Ayah dan adikmu itu pasti salah paham."
"Ibu harus menjelaskan agar mereka mengerti."
"Percuma, Nak. Sudahlah. Sudah nasib Ibu diperlakukan seperti ini."
Ibu tertunduk lesuh. Maura berlari ke kamarnya, ia sudah tak tahan melihat Ibunya diperlakukan demikian. Maura menggugat Tuhan.
"Tuhan, mengapa kau harus membuat hati sebaik Ibuku selalu menangis?. Seumur hidup dia sudah berusaha memberikan yang terbaik, tapi apa yang ia dapat?Ayah dan adikku sendiri yang memfitnahnya. Menyalahkannya. Aku tahu seperti apa Ibuku, Tuhan. Aku tahu perih di hatinya, Tuhan. Pindahkan saja semua beban hidup Ibuku kepadaku. Jangan siksa dia seperti itu, Tuhan. Aku tidak terima. Biarlah aku saja yang menanggung penderitaannya. Atau......."
"Ra, kau baik-baik saja, Nak?."
"Ya, Ibu. Ibu tidak usah mengkhawatirkan diriku. Lebih baik Ibu istirahat saja. Biar nanti semua piring kotor aku yang mencucinya. Pakaian biar aku yang menyetrika nya. Apapun itu, Ibu harus istirahat."
"Ya. Ibu sedang tidak sehat."
Dear, You
I don't know what GOD secret is, I know that is beautiful scenario for my Mom. But, please GOD give her a strongest heart to face it.
Maura
*
"Bu, aku lapar. Ibu masak apa?."
"Maura, mengapa kau tidak les hari ini?. Sebentar lagi ujian, kau harus lebih giat belajar."
"Aku sedang tidak sehat, Bu. Aku capek belajar setiap hari. Otakku jenuh, Bu."
"Ya, sudah. Makanlah dulu. Setelah itu kau istirahatlah. Biar pekerjaan rumah Ibu yang mengerjakan."
"Ibu sudah makan?."
"Nanti saja, Nak. Ibu belum lapar."
"Ibu sudah lelah memasak, mencuci pakaian, menyapu, mengangkat jemuran dll bilang kalau Ibu belum lapar?Ibu pasti bohong. Semakin banyak tenaga yang dikeluarkan maka akan semakin banyak energi yang dikeluarkan. Ibu tentu lapar. Ayo Bu, kita makan sama-sama saja."
"Tidak. Kau makanlah duluan. Lauknya masih di kuali. Nasinya ada di magic com."
Maura melihat lauknya enak, kesukaannya. Pindang ikan patin, tempe goreng dan sambal. Ada pula ikan patin digoreng.
"Bu, ayo kita makan," Maura ragu apa cukup lauknya untuk sekeluarga.
Maura membuka lemari makan, masih ada lauk ditutup dalam sebuah mangkok.
"Bu, ini untuk siapa?."
"Jangan diganggu. Itu untuk Ayahmu."
"Ibu mau makan lauk apa?, nanti kuambilkan."
"Ibu belum lapar."
Maura tidak bisa memaksa Ibunya untuk makan. Ia melahap lauk kesukaannya. Kemudian, kruuk, kruuk.. Maura sadar, Ibunya berbohong. Sebenarnya, Ibunya sudah lapar. Tapi untuk apa berbohong?.
Maura menyelesaikan makannya. Kemudian masuk ke kamar. Ia istirahat. Baru setengah jam ia di kamar, Maura keluar lagi untuk minum. Ia selalu kehausan.
Maura melihat Ibunya sedang menonton televisi sambil makan siang. Di rumahnya tidak ada aturan khusus makan siang pukul 12.00 Teng atau tidak. Siapa saja yang lapar boleh makan kapanpun, semaunya. Lauk pauk juga tidak dihidangkan di atas meja makan karena Maura memelihara banyak kucing di rumahnya.
Maura mendekati Ibu. Ia melihat tingkah Ibunya sedikit aneh.
"Bu, mengapa Ibu makannya hanya dengan kecap, tempe dan sambal?. Lauknya masih banyak."
"Biarlah. Nanti adikmu pulang pasti kelaparan."
"Tapi masih cukup, Bu."
"Malam nanti masih mau dimakan. Nanti tidak cukup lauknya."
"Lauk di lemari juga masih banyak."
"Itu untuk Ayahmu. Biarkan. Jangan diganggu sedikitpun. Ayahmu sudah lelah mencari uang untuk membiayai hidup kita, berdosa kalau ia hanya dapat makanan sisa. Itu khusus untuk makan Ayahmu."
Maura tidak mengerti jalan pikiran Ibunya. Kalau lapar ya dimakan saja tidak apa. Adiknya juga tentu sudah jajan di luar rumah. Riska ada kegiatan di sekolah. Ia menjabat sebagai bendahara OSIS. Ibu selalu melebihkan uang jajan bila ada kegiatan di luar jam sekolah.
"Ra, nanti kalau kau punya suami jangan digabungkan lauk untuk suamimu dengan orang lain. Kasihan ia bekerja hampir seharian. Perutnya tentu sangat lapar. Emosi lelaki itu terletak di rasa laparnya. Makanya kau harus benar-benar menjaga perut suamimu."
Maura mendengarkan dengan seksama dan ia berlalu ke kamarnya.
Dear You
If I had much money, I'll bring My Mom to Makkah, either my Dad. I'll buy everything they want, especially for my Mom. She didn't have anything. Even, she's really want to have or buy.
Sad.
Maura :'(
**