Hati yang memilih

970 27 2
                                    

Tiga hari telah berlalu, tapi belum ada jawaban pasti yang bisa diberikan Mama Sahara. Sahara juga tidak menanyakannya lagi sejak saat itu, karena mamanya selalu menghindar.

Tak jauh berbeda dengan Fadli yang menghindari Sahara. Fadli seakan menjaga jarak, tidak pernah menyapa apalagi tersenyum seperti biasa padanya. Sedangkan pada siswa lain, dia bersikap seperti biasa.

" ada apa denganmu ? Kamu marah padaku ? Bukannya kamu bilang, akan menyetujui apa pun pilihanku. Tapi kenapa sikapmu jadi begini ?"

Fadli menatap Sahara dingin, " Selama kakak belum bisa memutuskan, lebih baik aku menjauh. Aku tidak mau mendengar apa pun mengenai pilihanmu."

" Tapi jangan bersikap seperti itu padaku, aku merasa sangat jahat padamu. Aku ingin kamu bersikap seperti biasa."

" aku tidak bisa berpura - pura manis dihadapanmu saat ini. Aku tidak bisa. Aku harap, kakak jangan temui aku dan protes mengenai sikapku."  Fadli pun pergi.

Sahara makin frustasi memikirkan apa yang harus dia lakukan. Saudara yang sejak dulu dia inginkan, sekarang mulai menjauhinya dan bersikap dingin. Padahal mereka baru saja dekat, baginya itu sangat menyakitkan.

***

Raihan pulang dengan kendaraannya. Sambil mengingat percakapannya di kantin bersama Beni.

" ... Kamu sudah bilang padanya ! Trus apa jawabannya ?" tanya Raihan antusias.

Beni menggeleng tanpa semangat, " tidak ada harapan ! Sheila ingin kita tetap menjadi teman."

Raihan ikut kecewa mengetahui jawaban yang di dapat Beni.

" tapi, aku bersyukur. Sheila tidak membenciku karena masalah ini. Aku sekarang lega  dan kami makin akrab." ungkap Beni sambil tersenyum.

" bagaimana denganmu ? Kamu sudah mengatakannya ?"

" aku tidak tahu. Saat ini, dia terlihat memiliki banyak masalah. Aku bahkan sulit untuk mengajaknya bicara. Terlalu banyak hal yang tidak aku mengerti darinya. Dia seperti menutupi banyak hal."

" aku bisa melihatnya." gumam Hadi.

Ingatan Raihan teralihkan setelah melihat Sahara yang berjalan sendirian. Dia berinisiatif mengajak Sahara pulang bareng. Awalnya Sahara menolak, tapi akhirnya dia memutuskan untuk ikut.

Sepanjang perjalanan tidak ada yang bicara, keduanya sama - sama diam.

" apa ada sesuatu antara kamu dan mamamu ?" Raihan memberanikan diri bertanya.

" tidak, kami baik - baik saja." jawab Sahara singkat.

" seharusnya kamu cerita padaku dan ayah, mungkin kami bisa bantu." ujar Raihan menawarkan diri.

" aku akan mengatakannya kok. Aku akan mengatakan semuanya hari ini." ujar Sahara tiba - tiba.

" apa yang sebenarnya ingin kamu katakan ? Apa ini sangat penting ?" Raihan ingin tahu.

" kamu pasti akan sangat senang." pikir Sahara.

" maksudmu ?"

Sahara hanya tersenyum simpul, " aku sangat senang dengan perhatianmu. Terima kasih..."

"...kita saudara kan !" ujar Sahara melanjutkan

" ya, sepertinya." Raihan agak ragu untuk mengatakan hal itu. Dia bingung dengan perkataan Sahara yang berbelit - belit.

" apa pun yang terjadi, kamu harus tetap menganggapku adik. Sekalipun tak ada hubungan darah diantara kita.... Sekalipun tidak ada hubungan apa pun diantara kita."

" sebenarnya apa maksudmu mengatakan hal seperti itu. Aku tidak mengerti ?"

Sahara tidak menanggapi pertanyaan Raihan. " aku tahu, kamu orang yang baik. Hanya saja kamu belum bisa menerima keluarga baru yang asing. Aku sadar itu setelah melihat foto - foto yang terpajang waktu itu, bahwa tidak ada yang bisa menggantikan ibumu dirumah ini. Karena beliau adalah hal yang paling berharga dalam kehidupanmu. Aku mengerti, tapi aku harap kamu bisa menerima mama disini. Mama tidak bermaksud merebut posisi ibumu, karena apapun yang terjadi posisi ibumu tak akan pernah tergantikan." ungkap Sahara.

***

Fadli duduk di undakan tangga sendirian, ibunya melihat itu dan ikut duduk disampingnya.

" ada  apa ?" tanyanya perhatian.

" lebih baik kita mempercepat keberangkatan kita, bu. Bukannya semuanya sudah dipersiapkan ?" ungkap Fadli.

" kita masih harus mengurusi beberapa hal lain, apalagi kita masih belum mendapat jawaban dari Sahara." komentar ibu Fadli.

" tak usah menunggu jawaban darinya. Semuanya sudah jelas, dia tidak mau ikut bersama kita. Dia bahkan mengatakan itu di depanku. Ibu jangan terlalu berharap padanya, aku sudah puas hidup berdua dengan ibu. Kita sudah bertemu dengannya dan dia baik - baik saja, kurasa itu semua sudah cukup." tekan Fadli.

" dulu kamu yang mendesak ibu agar melakukan ini, tapi kenapa sekarang kamu yang memutuskan menyerah terlebih dahulu. Ibu tahu, kamu mungkin kecewa dengan pilihan Sahara nanti. Tapi kamu harus ingat, kita sudah sepakat tak akan pernah menuntut apa pun terlebih memaksa Sahara tinggal bersama kita. Kita tetap harus menunggu, apa pun keputusannya." ujar ibu Fadli meyakinkan.

Fadli tidak bisa membantah, dia akan melakukan semuanya sesuai perkataan ibunya.

" Fadli, ... kamu harus tetap menjalin hubungan baik dengan kakakmu, apapun yang terjadi. Kita tidak boleh pergi dengan rasa benci, tapi kita harus pergi dengan senyuman." pesan Ibu Fadli.

Fadli hanya bisa menunduk menyesali sikapnya beberapa lalu pada Sahara. ' aku tidak akan marah dan benci, apa pun yang terjadi. Tidak boleh lagi !' ujarnya dalam hati.

" gunakan sisa waktu yang ada untuk melakukan hal yang lebih bermanfaat. Kamu tidak ingin menyesal nantinya kan !" nasihat Ibu Fadli. Fadli mengangguk mengerti.

cerita ini mengalami perombakan part, ah...kenapa harus ada part yang hilang sih !!

Rahasia SaharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang