A's Little World

8.8K 554 16
                                    

     Halo! Di sini Alysa! Terima kasih telah mengunjungi unfortunate! Mengingat cerita ini saya tulis dengan rentang waktu antar chapter yang cukup jauh, ditambah di tahun ketiga saya baru akan menuntaskannya, mungkin pembaca akan menjumpai perbedaan gaya bahasa antar chapter dan sekarangpun, saya sedang tahap revisi agar para readers tidak menemukan typo sewaktu membaca. 

     Dua buket bunga lycoris, masing-masing diletakkan Hans di atas dua gundukan tanah di depannya. Bahkan setelah dua puluh tiga tahun sejak pertemuan pertamanya dengan pria dalam pusara itu, ia masih tersenyum seolah baru kemarin dirinya direkrut menjadi tangan kanan seorang Komisaris Polisi. Kedua matanya ganti menatap pusara lain—tempat wanita dengan keadilan tertinggi bersemayam selamanya.

      "Azure! Kembalikan! Kau tidak boleh mencuri barang-barang Ibu! Ia akan menjewer telinga kita kalau ketahuan!" Seorang anak kecil berteriak lantang, memecah kedamaian padang bunga lycoris. Hans menghela napas. Kedua putrinya pasti bertingkah lagi di depan makam kakek nenek mereka.

      "Tidak mau! Ibu selalu melarang kita membaca ini! Dan ini aksi terbaik kita, Kak! Kapan lagi kita bisa membacanya kalau bukan sekarang?" sergah anak yang lain. Tangannya gesit berkelit dari tangkapan kakaknya. Kedua anak kecil itu riang sekali berlari, saling mengejar, hingga akhirnya sang adik, Azure, terjerembap.

      Amelia tertawa. Keras sekali hingga Hans menghela napas kedua kalinya. Bukan main lelahnya menegur kakak beradik yang kerap bertengkar. Pria itu memutuskan bangkit, menghampiri dua putrinya yang sudah menjambak rambut satu sama lain.

     "Amelia! Berhenti menjambak adikmu sendiri! Dan Azure, berikan kepada Ayah sekarang,'' Hans menatap galak putri bungsunya.

     Azure merengut, menolak. Buku di belakang punggungnya tidak akan ia kembalikan sampai habis dilahapnya. Hans berjalan mendekat. Kedua langkahnya selalu diikuti Azure yang berjalan mundur. Melihat celah, Amelia bertindak cepat. Tangannya lincah merebut buku harian tersebut, lantas mengangkatnya ke udara. Mengejek adiknya. Payah.

     "Hahaha! Azure lengah! Azure lemah!" Amelia meledek lagi. Lebih keras.

     "Aku tidak lemah! Aku bahkan lebih cepat memanjat tebing darimu! Hanya karena kau lebih dulu naik sabuk taekwondo, bukan berarti kau bisa semaunya!" tukas Azure melompat-lompat, berusaha merebut kembali barang curiannya.

      Hans, dalam satu gerakan tangkas, buku harian itu sudah berpindah ke tangannya. Ia tersenyum, menatap dua putrinya seraya merangkul hangat wajah mereka yang penuh kedamaian. Dunia sudah berubah. Meski masih banyak organisasi-organisasi kejahatan di luar sana, hidup mereka sudah tentram berkat usaha gila dua puluh tiga tahun lalu. Usaha yang juga mempertemukan Hans dengan ibu kedua anak kecil di depannya.

      "Azure, dia kakakmu. Panggil dirinya baik-baik dan Amelia, jangan seenaknya mengejek orang. Kalian penasaran dengan isi buku ini, kan? Ayo, Ayah akan membacanya di depan makam Kakek dan Nenek tapi janji, jangan ribut lagi. Oke?" Hans menawarkan kelingking. Dua putrinya masih memalingkan wajah darinya.

      "Ini tidak adil! Dia hanya terlahir sepuluh menit lebih dulu ketimbang aku! Kenapa juga aku harus memanggilnya kakak?" Azure masih merengut. Bola mata biru yang diwarisi dari ibunya tampak berkilat-kilat gemas.

      Amelia menjulurkan lidah, meledek kecut di bibir adiknya. Hans tertawa kecil. Bukan karena lidah panjang Amelia atau bibir monyong Azure, telinganya tergelitik dengan kata keadilan yang baru diucap putrinya.

      "Hidup itu adil, Azure, Amelia. Walau tidak selalu ada di mana-mana, keadilan akan hadir bila kita sendiri yang menjemputnya." Hans mengangkat kedua putrinya ke atas pangkuan, lalu membelai pucuk rambut mereka satu per satu.

UnfortunateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang