Lembaran Kedelapan Belas: Sandera (II)

989 143 28
                                    

      "Kita tersandera dalam kehidupan kita sendiri. Melupakan segala janji-janji masa depan demi satu kata yang menjadi semangat hidup kita selama ini. Dendam."

(Hans)

    Tanganku dicengkramnya erat-erat di bawah langit malam. Kokok burung hantu saling bersahut, mengisi keheningan dari gemerisik ilalang yang kami tembus. Seluruh inderaku terpasang malam ini, begitu pun instingku yang berusaha menerka aksinya.

    "Lepaskan! Kenapa?!" seruku dengan lantang dengan wajah yang menumpu harap. Harapan agar setidaknya seseorang mendengarku.

    Meskipun aku tahu, itu adalah mustahil. Jikalau aku bertingkah lebih tenang lagi, maka ia akan curiga dan urusan akan menjadi lebih rumit lagi.

    "Tidak bisakah kau diam saja?! Aku akan membungkammu selamanya bila kau terus berteriak!" sergahnya dengan menarik tanganku lebih kasar. Ya ampun, perawatan kulitku yang mahal harus dirusak tangan kotornya.

     Aku hanya mengangguk dengan lamat-lamat serta wajah yang memasang raut ketakutan. Hal terburuk dari penyanderaan ini adalah, aku tidak tahu akan dibawa ke mana untuk diapakan. Aku harus tetap bersiap siaga, mencegah hal terburuk yang mungkin saja akan terjadi.

    "Baik. Kau mengerti dengan permintaanku? Kalau tidak, maka akan kuhabisi perempuan ini dalam sekali tebas. Kirimkan koordinat tikus-tikus itu padaku, maka akan kupastikan gadis ini akan pulang dengan selamat! Lakukan saja perintahku!" Nada membentak terdengar begitu membakar di akhir ucapannya. Ia jelas sedang berbicara dengan kawan pengkhianatnya dari wireless earphone di telinganya.

    Aku mendengus sebal. Telepon itu sudah pasti terhubung dengan pengkhianat di Kepolisian. Sial, mengapa penyelidikan seperti ini harus dibumbui pengkhiatan? Entah sengaja atau tidak Kepolisian pasti menempatkan mata-mata di White. Seluruh kejadian di sini terlihat terencana. Keganjilan-keganjilan yang kurasakan dari awal keberangkatan terbukti adanya.  Menyulitkan saja. 

    Kakiku terus bergesekan dengan tajamnya rerumputan liar hingga sedan kecil itu terlihat. Berwarna putih dengan banyak bekas tabrakan di badannya terparkir mulus di balik pepohonan. Wah! Jago sekali dirinya sampai mobil ia pun tidak terdeteksi kamera pengawas jalan! Atau mungkin saja, markas kecil mereka mungkin telah didirikan di tengah hutan seperti ini. Ah, kau terlalu banyak berkontemplasi, Cia!

    "Masuk! Kau tidak ingin kehidupanmu berakhir di sini, bukan? Jangan bertanya di sepanjang jalan dan ikuti saja permainan ini!" Tangannya mendorong jatuh punggungku dengan kasar. Aku hanya bisa meringis kesakitan, merasakan rasa ngilu yang seketika menjalar di sekujur tulangku.

     Bum! Pintu mobil itu ditutupnya dengan penuh amarah. Ada kekesalan yang memuncak.  Hal-hal ganjil pun semakin berlanjut. Ia tak mengikat tanganku dengan tali atau apapun. Mobil ini mulai berjalan melintasi pegunungan. Dan dengan gelapnya penerangan jalan, aku bisa menebak tujuan mobilnya berlari. Kawasan terlarang hutan-hutan di Kota Yoru. 

     "Brengsek! Beraninya mereka menjepitku!" Kepalaku hanya menengok malas, lalu mendengar dirinya yang kembali menggerutu. Tangannya dengan kasar menyalakan radio, memperdengarkan lagu-lagu jazz di tengah suasana tegang. Pandanganku tiba-tiba menubruk setumpuk koran di dashboard mobil.

     Tidak mungkin. Koran-koran itu menambah daftar baru dalam hipotesaku. Headline 'Bara Rumah Hallindt, Akankah Tuntutan Kepada Keluarga Mereka Berakhir?' tercetak besar-besar di sana. Abu rokok yang sudah padam pun bercecer tak karuan di  bawah sepatuku, membuatku ingin sekali menutup hidup begitu aroma tembakau terhidu kuat. Mataku kembali terpicing, mengamati jelas-jelas jejak sepatu yang tertinggal di sana. Ada bekas tanah gunung yang sangat kukenal, membentuk lekuk-lekuk sol sebuah pantopel. Alisku kembali naik, mata detektifku kembali bekerja.

UnfortunateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang