Lembaran Keempat Puluh Tiga : Children Helping Parents

668 89 14
                                    

"Kalau aku kembali membaca lembaran ini, aku selalu menertawakan tingkah-tingkah biadab kepada Ayah. Benar-benar durhaka. Namun, dalam lembar ini jugalah, aku merasakan ketulusannya untuk memperbaiki masa lalu."

- Alluschia Alaska -

    "Tiarap!" Kedua pengawal itu berseru lantang. Mereka dengan sigap membentuk pagar, melindungi wanita itu dari serentetan tembakan yang membabi buta di depan kontainer.

    Hujan peluru tidak bisa dihindari. Di luar sana, nyalak senapan terdengar beradu dengan derum-derum jip yang mulai berdatangan. Nina segera mencabut flashdisk. Kontainer berguncang lagi. Wanita itu refleks merunduk di bawah meja. Debam-debam tubuh bertumbangan memecah keheningan malam.

    Tepat saat cetak biru instalasi air di bawah kota itu terbentang, Nina mengerti semuanya. Antivirus itu hanya gertakan Silver untuk mengumpan wanita itu keluar.

    "Kirim bantuan!" serunya begitu denging di telinganya terdengar. Hatinya mencelos. Ke mana pria itu pergi?

    "Jun Allan! Kau mendengarku?!" bentak keras, hampir-hampir menyamai nyalak peluru di luar.

    Jauh dari bibir dermaga, derum kapal melenguh lebih kencang. Telepon dari putri sulungnya membekukan seluruh saraf pria itu. Kekhawatirannya mengalir deras serupa purnama dalam kelok permukaan laut.

    "Ayah dari Alluschia! Kau mendengarku?!" Ngiing! Ren tersentak. Gendang telinga kanannya nyaris saja pecah dibuatnya.

    "White menyerang! Kirim pasukan tambahanmu! Kau ingin melihat ibu angkat putrimu mati, hah?!" bentaknya lebih keras lagi.

    Ren menelan ludah. Keadaan memburuk, meskipun sejatinya baku tembak di seberang teleponnya sudah masuk dalam perhitungan Komisaris itu. Jemarinya dengan cepat mengirim pesan bantuan dan dengan segera, pasukannya yang sudah bersiap siaga di pintu terminal meluncur.

    "Kumohon, tinggalkan saja laut, putar balik yacht ke Pelabuhan Yoru..." Ren cepat-cepat mengisi percakapan, berharap putrinya tidak mendengar suara ibu angkatnya.

"Siapa yang mengatakan aku ingin membantumu? Kau tuli? Aku hanya ingin ikut campur dengan urusanmu. Itu saja. Aku juga ingin mengetahui isi kapal kargo atau mungkin meledakkannya sekaligus memanggangmu di sana. Hal yang cukup setimpal dengan perbuatanmu delapan tahun lalu, tapi itu jelas ide buruk. Ibu akan mengutukku selamanya, hidupku akan berantakan, lalu..." Putrinya mulai bercerocos panjang. Suara cetengah cempreng itu sayup-sayup mengobati rindu pria itu. Ia tersenyum, walaupun dirinya ikut merasakan kebencian yang terselip di setiap kata Alluschia.

    "Argh! Aku mulai melantur. Lupakan, Alaska. Baiklah, kau sekarang di mana?" Siapapun ayah waras di dunia pasti menganggapnya tidak beradab. Hanya Ren yang justru bahagia mendengar dirinya dipanggil.

    "Ayah masih di slot A kontainer. Tidak jauh dari dek. Memangnya kenapa, A?" Ren meninggalkan lingkaran judi, lanjut berjalan-jalan santai menikmati siraman purnama malam ini. Andai saja dirinya tidak sedang dalam tugas, ingin sekali percakapan itu diulur-ulurkannya. Demi mendengar suara putrinya lebih lama.

    "Bagus. Mulailah naik ke dek, aku akan memantaumu dari kamera pengawas. Akun Ibu benar-benar hebat! Untuk apa menyusup lagi bila ada mata dalam organisasi mereka? Keren!" Terdengar suara Cia berdecak kagum. Ren menghela napas. Urusan ini akan semakin rumit bila Cia berjalan terlalu jauh, lebih-lebih mengambil alih kamera pengawas kapal.

UnfortunateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang