Lembar Ketiga Puluh Sembilan : Anti-virus (I)

704 104 22
                                    

    "Apa Amelia Fresch adalah Alluschia?" tanyanya sekali lagi, menekan setiap kata yang dibuncahi rindu. Sesal. Beragam macam emosi telah menyesaki dada seorang ayah itu.

    "Sudah kukatakan bukan? Jangan tergesa-gesa. Kami telah berjanji untuk merahasiakan identitas barunya. Mau kau membawa daftar seluruh anak di kota ini ke hadapanku, lalu menebaknya satu per satu, mulutku tetap terkunci. Sampai saat itu tiba, tanam saja rasa percaya diri itu lagi. Ingat, kau memang bersalah. Tapi, bukan berarti kau tidak bisa memperbaiki dan terus menatap ke belakang. Rumi tidak akan bisa bangkit lagi, namun Alluschia? Ia masih bisa kembali," tutur Nyonya Sharon yang membuat pria itu menghela napas panjang lagi. Pria itu kalah.

    Ren termenung, kedua matanya kini terfokus pada agenda cokelat yang baru saja diambilnya. Dibolak-baliknya setiap halaman yang sudah menguning. Foto hingga identitas setiap anggota yang melarikan diri delapan belas tahun lalu tercatat di sana. Lengkap. Akurat. Bahkan foto orang yang baru saja dikirimkannya pesan juga tertempel di sana. Rambut blonde, rahang tegas, serta iris hijau yang berkilat-kilat pun meyakinkannya bila dia adalah wanita yang baru ditemuinya seminggu lalu. Karenina Anderson.

    "Kebenciannya padaku pasti sangat kuat, kan?" Ren menarik napas lagi. Tak kuasa lagi kelopak matanya membendung air mata, membayangkan tangannya yang pernah menjatuhkan luka pada Alluschia.

    "Kau tahu tujuanku menerapinya? Memadamkan dendam itu, Ren. Tuduhan yang ia layangkan padamu tak berdasar, semuanya hanya dikarenakan alur ingatannya yang kacau. Bukannya satu-satunya kekerasan yang kau lakukan adalah menamparnya sebelum ia pergi?" Ren terdiam. Pertanyaan Nyonya Sharon menghantam dirinya yang mengunci rapat masa lalu. Bila jauh sebelumnya, kedua tangannya telah mengguratkan luka di mata kiri Alluschia.

    "Baiklah. Tolong katakan padanya bila kau baru saja memesan makan siang untuknya. Sekotak onigiri akan sampai dalam satu jam!" Ren berseru sesemangat mungkin, meskipun benaknya sedang berembuk dengan penyesalan.

    Kedua matanya meniti setiap detail yang dijelaskan. Mantan penembak jitu yang sering mengandalkan springfield. Persis. Senjata itu juga yang dilihatnya sebelum wanita itu berbincang hangat dengannya.

    "Onigiri? Memangnya kau sempat membuatnya? Aku baru menyidak pabrik farmasi tadi. Semuanya berjalan lancar sesuai yang kau duga. Sebaliknya, harga saham perusahaan kargo kita sedikit tu..."

    "Ah sudahlah! Persetan dengan pekerjaan. Waktuku selalu ada untuknya, Nyonya. Sudah, ya? Aku akan membuat onigiri untuknya. Oh ya, apa telur di kulkas masih banyak? Bagaimana dengan rumput laut? Arry jadi membelinya dua hari lalu, kan?" potong Ren seraya mematikan kelima layar hologram, mengakhiri pekerjaan yang baru saja dimulainya.

    Onigiri. Ren kembali membayangkan reaksi Alluschia kecil dahulu saat menyantapnya. Putri sulungnya itu selalu memuji hasil karyanya sebagai yang terlezat di planet ini--bahkan di umur empat tahunnya, ia mulai belajar mengenai cara kerja tata surya. Kedua mata ia ikut bergulir mengikuti miniatur orbit planet yang dibeli ayahnya. Ren menelan ludah lagi. Memori itu hanya meninggalkan keindahan di belakang.

    "Semua bahannya lengkap, Ren. Dasar, padahal dia tidak akan mengenal pengantar makanan jepang..."

    "Biarlah, Nyonya. Melihat senyumnya saja sudah cukup. Kalau kau ingin melapor perkembangan grup, kau bisa mengirim e-mail-nya nanti-nanti saja. Aku ingin melihat Alluschia lagi. Bye!" tutupnya tanpa salam apapun, lekas berlari menuju dapur dengan penuh semangat.

    Hari Minggu, pukul sepuluh pagi, Ren bersiap memasak--suatu hal yang jarang sekali dilakukannya sejak delapan tahun lalu. Pria itu merajang semua bumbu dengan penuh semangat. Tangannya gesit menggulung nasi, melapisinya dengan nori, bahkan menghiasnya seperti halnya waktu dulu.

UnfortunateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang