Lembar Kedua Puluh Delapan : Selalu Mencintainya (I)

563 89 6
                                    

      Jemarinya merengkuh pucuk kepalaku dengan sigap. Aroma licorice seketika menyeruak dari balik benang kemeja putih. Selonsong peluru yang baru saja melintas tak mampu mengalihkan fokusku pada tumpukan masa lalu yang masih mengait erat pribadi pria itu. Tidak hanya aroma yang selama ini kukenali, namun kemejanya masih sama seperti yang ia kenakan dahulu. Kemeja putih berbahan katun yang terkancing hingga kerah. Kemeja ini lebih dari sekadar pakaian karena ibu selalu memberikan kemeja seperti ini di hari-hari berbahagianya. 

    "Kau masih..."

    "Masih mencintai Ibu?" lanjutku dengan jari-jemari yang mencengkram lengannya.

     Bibirnya terkatup seketika. Hans yang sebelumnya menjaga jarak, lekas mencegah gelombang manusia yang menyerbu dua insan yang masih terdiam di tengah penyerangan. 

    "Selalu."

    Satu kata yang jelas membuatku semakin terpengarah. Kedua matanya jelas-jelas berusaha kabur dari tatapan putrinya sendiri. Ia terdiam kembali, sebelum tubuhnya membalikkan badan, menghadap Hans. 

    "Hans, bawa Alluschia ke tempat yang aman sekarang! Jangan pedulikan aku! Aku akan membendung semua ini sendiri!" serunya yang lekas bangkit tanpa menjawab apapun.

    Hans seketika menaikkan alisnya tak percaya. Gelombang massa ini terlalu besar! Ia bahkan sudah hampir kehabisan peluru dan terus melangkah mundur.

    "Apa?! Bagaimana bisa kami..."

   "Sekarang!" bentaknya yang langsung menarik pelatuk kembali kepada musuhnya.

    Aku hanya bisa menggigit bibir melihatnya. Kepalaku benar-benar kosong seketika hanya karena peluru yang menggores bahunya tersebut. Entah kenapa, secuil potongan masa lalu tiba-tiba menghantuiku. Ya, hanya karena kemeja pria itu.

    "Kau tidak mendengarku? Sekarang!" bentaknya yang seketika mengejutkan pria muda itu. Belum pernah didengarnya bentakan sekeras itu keluar dari mulut Komisaris.

    Kepalanya mengangguk. Ia menurunkan senjatanya, lalu segera mencengkram jari-jemariku, membuyarkan segala lamunanku akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada pria itu selama aku meninggalkannya. Apa sama yang seperti diperkirakan ibu? Hancur sehancur-hancurnya?

    "Lari, A! Lari!" sergah Hans yang semakin keras. Aku menggeleng, berusaha memaksanya melepaskan cengkraman jarinya lagi.

   "Suatu hari nanti, Ayah akan menjelaskan semuanya. Tanpa ada yang terlewatkan," janjinya dengan sepintas senyum pahit.

    Hans tidak mendengarku lagi. Ia segera menyeretku berlari menerobos barikade manusia. Berkat tembakan-tembakan pria itu, jalan kami untuk kabur terbuka. Sekilas, kedua manikku melihat punggungnya yang menghilang di tengah arus manusia. Entah mengapa, kali ini aku menuruti kata-katanya dengan pikiran yang statis. Relung mata pria itu tak dapat kutelusuri. Rasa bersalah, cinta, kesedihan, penyesalan, semuanya bercampur aduk dalam binar matanya yang hampir padam.

     Ren menghela napas menatap kepergian putrinya. Untuk kedua kalinya, ia berat hati melepaskan kembali orang yang paling dirindukannya selama delapan tahun ini. Bukan tanpa alasan, tatapan kosong Alluschia begitu mengkhawatirkannya. Ia tidak mungkin membiarkan putrinya bertarung ataupun terluka lagi. Biarlah ia menanggung beban ini sendirian.

     "Kalian tidak pernah belajar bagaimana anggota-anggota kalian mati di tanganku selama ini, ya?" Ren menggulung kemejanya hingga siku. Ia menyeka rambut-rambut di dahinya, memperlihatkan manik biru koral yang begitu tajam.

    "Kalian kira aku datang tanpa persiapan?" Seringainya dengan aura dingin yang seketika membekukan massa dalam ketakutan. Atmosfer membunuh yang ia ciptakan sangat kuat hingga tak satupun tongkat-tongkat besi terangkat.

UnfortunateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang