Lembaran Ketujuh: Tentang Rindu (I)

2.7K 304 28
                                    

       Pancaran Fajar memasuki setiap sela jendela yang terbingkai kayu, menembus setiap sudut kamar. Membuat garis-garis tipis membentang di iris biruku, memaksa diri pemalas ini untuk terbangun menuju realita kembali.

        Tok! Tok!

        Suara-suara paling menyebalkan dan paling kasar di setiap pagiku; Selalu ampuh membuat mataku langsung terbuka. Kepalaku menoleh ke arah sumber suara dengan pandangan tak suka, lalu berdesis menyumpahi siapapun yang berani mengganggu tidurku.

       "Aku sudah bangun, berisik! Ya ampun! Sudah kubilang, aku tidak ingin masuk sekolah hari ini!" bentakku tak tahu diri seraya membanting selimut biruku hingga jatuh ke lantai.

       Berjalan dengan menghentakkan kaki keras-keras, lalu tanganku memutar kenop pintu dengan kasar. Menarik gagang pintu dengan wajah menyebalkan, untuk melihat siapa yang menggedor-gedor pintu kali ini.

        "Bagaimana tidurmu? Nyenyak? Ibu bilang, tak usah bersekolah hari ini. Ah ya, Paman Erick menelpon ibuku beberapa menit lalu. Kenapa kau tidak mengangkat teleponnya?" papar Sara dengan wajah datarnya serta mata yang setengah terpejam. Rambut blondenya berantakan, mekar seperti singa yang sedang mengamuk.

       Kami benar-benar termakan lelah kemarin hari. Saat aku sudah pulang, beberapa barangku sudah tertata--tak begitu rapi, baju-baju kotor sudah masuk ke dalam keranjang cucian, serta beberapa 'peralatan' yang tersimpan apik di lemari kecilku. Argh, aku benar-benar terima kasih atas kebaikan mereka yang membuatku untuk tidak menyeret koper lagi di tengah malam. Kepalaku yang masih penuh dengan kejadian tadi malam, hanya bisa mengangguk--menanggapi perkataan Sara.

      "Baiklah, nanti aku akan menghubunginya. Tadi malam sangat bersih? Apa mungkin mereka sedang rehat saat pria itu terluka? Semoga saja aku bisa tenang hari ini. Huaah," komentarku seraya menguap lebar, lalu mengangkat tanganku tinggi-tinggi untuk sebuah pemanasan kecil.

      "Oh ya. Ibu juga memasak sup ikan, sudah kutaruh di dalam kulkas. Jangan hanya memakan nugget. Tidak baik untuk kesehatan, terlebih sekarang sedang waktu-waktu pemulihanmu," saran Sara yang dengan segera berbalik pergi setelah menyampaikan pesan ibunya. Mungkin dia ingin melanjutkan tidurnya.

       Aku hanya mengangguk-angguk ringan lagi, lalu berjalan gontai menuju dapur. Lantai kayu di bawahku sesekali menimbulkan derit, cat dinding yang masih sama kusamnya dengan dahulu, serta jendela-jendela berbingkai kayu merah yang membuat cahaya-cahaya matahari menerangi seisi rumah menjadi pemandangan pertama yang harus kulihat setelah dua minggu di Rusia.

        "Frederick memanggil. Terima panggilan?" Suara lembut menyapa, mengingatkanku pada wanita yang selalu menemaniku selama tujuh tahun. Bahkan, sampai saat ini, suaranya masih kujadikan nada panggilan.

       "Terima," balasku dengan lantang seraya meneguk segelas air.

        Teknologi terbaru yang baru kubeli beberapa hari sebelum ke rusia itu segera menampilkan layar besar di dinding kusamku. Tanda loading muncul di layar, memberikanku waktu untuk merapikan diri. Setidaknya agar mereka tidak mengira aku baru bangun tidur sesiang ini, sih. Nenek pasti akan berkata tidak-tidak tentang kepribadian pemalasku.

      "Bagaimana kabarmu? Sehat? Kudengar ehm...kau baru saja pergi ke rumah sakit kemarin?" sahut seseorang tepat saat aku baru saja duduk manis di atas kursi makan.

     Layar yang memantul di dinding kusam tepat berada di depan meja makan, menampilkan wajah paman dan Annastasia yang sedang berada di ruang makan.

      "Sehat dan cukup baik setelah mendengar kabar pria itu. Hanya menyumbangkan darah karena kudengar, ia akan mati kehabisan darah. Yah, mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin dicap sebagai anak durhaka," tuturku sekenanya seraya mengangkat bahu atas alasan polosku. Aku sama sekali tidak ingin menyebutkan bagian di mana aku telah benar-benar menjadi 'durhaka'. Saat aku menumpahkan semua kebencianku.

UnfortunateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang