Lembaran Keempat Puluh Tujuh : Persimpangan Jalan

504 81 7
                                    

"Kau ingat saat-saat itu, Hans? Saat kita pertama kalinya menemukan persimpangan, lupa bila sejatinya kita dipertemukan nasib yang sama. Kita seharusnya mengenyampingkan ego, merangkul derita satu sama lain."

- Alluschia Alaska - 

    Desing lift berhenti tepat saat huruf B1 berkedip-kedip dari balik layar LED. Rupa-rupa kesibukan sebuah kantor pemerintahan telah lenyap dari basement. Tidak ada lagi mobil yang hilir mudik mengisi spasi kosong. Hans menarik tanganku lagi, mengajakku berjalan beriringan menuju sedan barunya.

    "Kau masih ingin menghubungi Lily Watt?" tanyaku begitu pintu sedan tertutup.

    Ia mengangguk datar. Lampu dalam mobil masih menyala. Mobilnya pun sama sekali belum dipanaskan. Tangan pria itu masih sibuk mencari-cari sesuatu dalam layar ponselnya.

    "Kau atau aku yang berbicara? Baru saja aku dapat nomor teleponnya dari profil Universitas Severich. Ayo, selagi jam makan siang baru berakhir," Ponselnya yang terangkat menampilkan sederet nomor asing.

    "Untuk apa? Untuk menjelaskan kalau bukti-bukti sejarah di tangannya sekarang adalah rekayasa?" sindirku menghela napas. "Lebih baik kau mendengarkan ruang kerja Gubernur itu. Kau tidak lupa menyelipkan penyadap, kan?"

    Dua earbud mendadak melayang di udara. Aku lekas menangkapnya sebelum bola-bola kecil itu jatuh ke dalam pangkuan. Kami tidak sebodoh itu untuk meninggalkan kakek tua itu begitu saja. Begitu koneksinya dengan Mounterall tercium, Hans langsung bertindak cepat memasangkan penyadap di bawah mejanya. Sebab siapapun tahu, bila seorang manusia sedang terdesak, maka ia akan langsung memohon bantuan pada pihak yang selalu menjadi malaikatnya. Pada kasus ini, sudah pasti si tua renta itu kembali menghubungi pembisik yang selama ini membantunya menaikkan reputasi sekaligus derajat di media. Pembisik yang juga menyarankan pembuatan film Anomali Kota.

    Lengang sejenak. Mataku sibuk menerawang sekat-sekat basement saat earbud Hans tak bisa berbuat banyak. Hanya suara kertas terseret-seret serta beberapa kali panggilan menjijikkan Gubernur yang tak lekas insyaf itu. Selebihnya, sisi lain telingaku menangkap helaan berat dari Hans.

    "Gagal?" Tanpa perlu ditanya sekalipun, raut wajahnya sudah memancarkan kekesalan.

    Tidak menggeleng, tidak juga mengangguk. Hans yang kukenal belum pernah berusaha seteguh ini. Biasanya yang keluar dari mulutnya adalah keluhan penuh pertimbangan seperti saat aku memulai strategi mengancam Gubernur.

    "Kau bisa ke sini sekarang?" Semangatku mendadak meluap. Sahutan di seberang membuka gerbang kesempatan.

    "Tidak sekarang, mungkin dua jam lagi saya akan tiba di kantor Anda, Bos. Ada masalah?" Suara berat terdengar menyapa setelahnya. Gubernur itu jelas terlibat percakapan yang membuat suaranya mendadak parau ditelan kecemasan. Tidak salah lagi, lawan bicaranya adalah satu-satunya harapan di tengah ketakutan besar Gubernur itu. Pembisik dari Mounterall.

    Klakson-klakson nyaring meredam samar suara lawan bicaranya. Aku berdecak kesal, menatap pria di sampingku yang masih berkutat dengan belasan panggilan kepada wanita itu. Mobil kami bahkan belum beranjak satu meter pun.

    "Sudahlah, lebih baik kita berfokus pada pembisik itu. Jika kita bisa menemukan dirinya, mungkin kita akan selangkah lebih dekat dengan Jung ataupun proyek Jembatan Emas itu. Kepalaku serasa hampir pecah, Hans. Fakta-fakta baru di sekitar kita terlalu banyak, terlalu mendadak hingga kita harus tergesa-gesa menyambungkannya. Sudah saatnya melupakan masa lalu sejenak, berfokuslah pada tujuan kita sejak awal. Mengubah fakta sejarah tidak memberikan manfaat apa-apa," Aku mengusap wajah. Kesabaranku sudah hampir habis melihatnya terkurung ponselnya sendiri.

UnfortunateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang