Lembaran Kesebelas: Kisah di Retroit (I)

2.6K 257 32
                                    

"Tak ada yang bisa mengelak dari masa lalu karena kita tahu, bahwa takdir bukanlah garis sejajar yang tak memiliki titik temu. Kadang, hal yang paling mustahil pun bisa kau sebut sebagai takdir"




      "Arggh!!!" teriakku berseru kesal, lalu memukul pintu bilik dengan kerasnya. Kekesalanku semakin menumpuk hari ini.

    "Kenapa?" Aku memukul-mukul pintu bilik lagi, melampiaskan kekesalanku pada kasus ini. Getaran mulai terhantar, menggoyangkan bilik-bilik lainnya yang saling bersebelahan.

     "Dari sekian banyak manusia, kenapa aku harus berurusan dengannya lagi?!" raungku yang hampir saja melempar ponsel, sebelum tersadar bahwa seluruh lantai tergenang air. Tenang, Alluschia. Ini adalah harga untuk mendekati White.

    Untuk sesaat, dadaku terasa sesak, udara saling berebut memasuki pernapasanku. Keringat dingin berulang kali kuusap, adrenalin seolah berpacu tiap kali minggu tersebut terbayang di benakku. Bagaimana aku harus terkurung dalam penjara masa lalu. Setidaknya paling lama seminggu.

      "Amelia! Kau tidak apa-apa?" panggil seseorang yang sangat kukenal dengan nada khawatir. Setelahnya, aku dapat mendengar Sara membuka pintu kamar mandi, kemudian membuka setiap bilik yang tertutup.

       "Polisi mengikutsertakanku dalam penyelidikan! Dan semua itu adalah atas saran pria itu!" paparku dengan cemas, sesaat setelah Sara mengetuk pelan bilikku.

      Aku pasrah, kepalaku hanya bisa tertunduk pada dinding bilik yang cukup basah. Rambut yang baru saja kurapikan tadi pagi, seketika berantakan kembali saat frustrasi ini melanda. Sementara Sara, tak terdengar lagi ketukan pintu darinya. Ia mulai terdiam, mumgkin mengerti mengapa aku begitu lama saat menelepon. Karena semua mimpi burukku datang hanya dalam percakapan selama dua menit.

      "Aku sudah pernah berkata, Cia..." ujarnya terputus, suaranya yang terdengar bergetar membuatku tersadar bahwa ia juga menundukkan kepala pada bilikku. Sepatu kami bahkan saling bersentuhan.

     "Jangan pernah memulai sesuatu yang tidak pernah kamu bisa akhiri. Dan terhadap masa lalu, kamu yang selalu berlari menjauh kini tidak bisa mengelak lagi. Semua hal itu pasti datang, semua hal pasti memiliki titik temu. Meski waktu harus memakan semua perjuangan," nasihatnya dengan getir, mengulangi nasihat-nasihat yang ia berikan saat aku memutuskan untuk kembali atau tidak. Bahwa semua hal memiliki titik temu.

      Aku hanya mengangguk-angguk, helaian cokelat kemerahanku mengikuti pergerakan kepala yang terus menelungkup dalam dinginnya bilik sempit ini. Tanpa kusadari, lambat laun seka mataku kembali sembap. Bayangan akan masa lalu yang menyakitkan kembali terputar, saat suara pria itu terngiang-ngiang dalam benak.

      "Kau tidak apa-apa, A?" cemasnya yang memukul bilik kamar mandi dengan lembut, berusaha memastikan bahwa aku baik-baik saja.

     "Tidak apa-apa, hanya saja kecemasan berlebihan itu muncul. Hei! Apa aku perlu bertanya pada James bila aku mengidap anxiety disorder atau tidak?" gurauku seraya menyeka air mata yang hampir jatuh, kemudian perlahan jemariku mendorong bilik dengan pelan.

       Wajahku yang kacau tampak menyedihkan ketika Sara menggiringku menuju cermin. Lampu yang amat terang membuat kelopak mataku terlihat semakin jelas, tampak sedikit membesar dari sebelumnya. Aku hanya berusaha menahan tangis.

     "Tidak ada yang akan terjadi. Kami bersamamu dan yakinlah, bahwa jabatannya yang tinggi tidak akan membuat Alaska berlama-lama di sana. Mungkin hanya sehari dua hari dan apabila kecurigaan ia semakin besar, maka kita lakukan hal seperti biasanya. Aku janji," hiburnya yang berusaha menenangkanku dengan janji-janjinya. Tangannya seperti biasa sudah menarikku dalam dekapan hangatnya. Sara selalu lebih handal merasakan emosiku.

UnfortunateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang