Lembaran Kelima Puluh : Alluschia, Jangan Kemari

483 83 39
                                    

Sebelum kalian memulai perjalanan panjang membaca cerita ini, author ingin bertanya dulu. Kalian, readers, lebih suka sekali update chapter panjang, atau berkali-kali update tapi chapternya pendek? Kalu author sih dua-duanya suka. Kalian bagaimana? 

***

     "Adalah Dimercaprol, salah satu chelating agents gas arsine yang mereka simpan di Proyek Jembatan Emas. Dua jam lalu perahu nelayan mereka merapat di pinggir Sungai Severe, tepatnya barat daya dari pusat kota, posisi cukup strategis dari pengawasan Intelijen," Nyonya Sharon melanjutkan diskusi. Tayangan presentasinya berganti, menjadi larutan bening dalam tabung injeksi.

     "Chelating agents?" Nina mengendikkan bahu, merasa asing mendengar istilah kimia baru.

     "Zat pengikat," sahut Ren malas. "Karena arsen termasuk logam, maka dibutuhkan zat pengikat untuk mengendalikannya. Jadi, kita akan melumpuhkan senjata mereka alih-alih menghancurkan?"

     Di seberang sana, Nyonya Sharon mengangguk. Itu pilihan terbaik berdasarkan pertimbangan seorang akademisi. Kalkulasi biaya juga berkata demikian, akan lebih hemat ketimbang membawa lima tabung itu ke pabrik farmasinya untuk dihancurkan.

     "Aku ingin kalian melindungiku selama menyuntikkan cairan tersebut ke dalam lima tabung. Kupikir membawa tabung itu pergi hanya akan memberikan White kesempatan baru. Niat baik kita bisa-bisa difitnah, dijadikan pelaku karena membawa bukti nyata. Dan kau harus hengkang dari Yoru bila hal itu terjadi,"

      Nina melepaskan kacamatanya, bersiap mendengar kesimpulan dari akun nomor dua. Ren, yang dipandang kedua wanita tersebut, mengangkat bahu dan tersenyum.

      "Sudah jelas, bukan? Lebih baik kita lemahkan tabung mereka di tempat. Mungkin ada penghambat nanti karena White baru saja melancarkan peringatan kepada Intelijen. Di lokasi yang sama, Proyek Jembatan Emas, mereka merekam penyiksaan kepada Jung. Sudah pasti esok hari kita akan bertemu mereka," tandas Ren seraya menutup lembaran laporan penyelidikan.

     "Mereka? White?"

     "Bukan, Intelijen. Tenang saja, pimpinan mereka kawan lamaku. Meski kurasa orang itu tidak sedang duduk tenang di kursinya," Ren menghembuskan napas. Cahaya meja rapat memudar, lalu menghilang seiring Nina mematikan lampu. Rapat sudah mencapai titik temu, mereka akan melumpuhkan teror sebelum White berhasil menancapkannya di kedua kota.

     Hentakan kaki menyentak kesadaranku. Aku segera melompat, menyambut terbukanya pintu lorong keempat. Lorong paling gelap, hanya seberkas remang-remang bohlam yang berjaga di atas kepalaku. Tekadku sudah bulat. Aku harus mendesak mereka.

     Derik pintu memberi aba-aba. Mereka sempurna berdiri di lorong, melongo tak percaya melihat kehadiranku di ambang pintu.

     "Kalian selingkuh? Berdua saja di sana?" gurauku datar. Tante Nina hampir saja menjatuhkan stik hologram, begitupun Komisaris yang tiba-tiba gagap menjawab.

     "Aku ikut! Ke mana saja kalian melanjutkan misi, sertakan aku, Tante, Komisaris. Kumohon! Kalian pasti membutuhkan akun Ibu untuk menghancurkan mereka! Tidak, maksudku, asalkan aku ikut berjaga dan mengambil posisi, aku bersedia!" rengekku menarik-narik kemeja pria itu. Dia tercenung. Tante Nina mengangkat tangan—menyerahkan keputusan pada pria di sampingnya.

     "Komisaris, aku juga ingin membantu Ibu. Apa White akan meneror kota? Itu jelas berbahaya! Aku bisa membantu kalian!" desakku sambil terus merengek, persis seperti anak kecil meminta dibelikan mainan.

     Pria itu mengusap wajah. Puluhan berkas di tangannya diturunkan. Matanya memandang nanar rengekku yang tak ada habisnya. Dia mengusap pucuk kepalaku lagi.

UnfortunateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang