Lembaran Kedua Puluh Empat : Tak Ada Harimau yang Memakan Anaknya (II)

818 110 20
                                    

   "Aku terlalu terfokus pada masa laluku sendiri hingga terbenam di dalamnya. Pada suatu titik, aku sadar ada banyak tabir rahasia yang kedua orang tuaku simpan rapat-rapat. Ya, masa lalu mereka masing-masing. Hari ini, aku sadar bila Ayah dan Ibu saling mencintai satu sama lain. Tak ada yang saling memanfaatkan karena cinta mereka benar-benar tulus. Begitupun dengan cinta mereka untuk melindungiku."

-Alluschia-

  Duk! Karenina membanting bagasinya setelah springfield itu tersimpan rapi dalam kotak peraknya. Sama seperti pria itu, ia bersandar pada tubuh mobilnya sendiri. Tangannya pun direnggangkan tinggi-tinggi setelah lelah membungkuk demi mencari arah bidik. Malam pun bersahabat setelah menghujamkan bumi dengan badainya beberapa saat lalu.

    "Identitas kalian masih belum kuketahui, Nyonya. Aku tahu bila tidak bisa melangkahi privasi kalian begitu saja. Kalian pasti akan berpikir bila seorang ayah sepertiku sudah bermuka tebal jika berani mengubrak-abrik kehidupan kalian hanya demi keegoisanku sendiri. Oh, ya, boleh aku bertanya? Bagaimana kehidupan Alluschia kini? Apa ia baik-baik saja?" ujarnya memulai pembicaran. Kedua bola matanya tidak dapat berbohong pada wanita itu. Ketulusan dan kekhawatiran terpancar dari sana. Karenina pun bertingkah sama. Ia hanya bisa menatap pria itu sejenak untuk kemudian mengalihkan pandangnya pada rerumputan basah di bawah kaki.

    "Apa ada kata baik-baik saja bagi seorang anak yang merasa dikhianati oleh keluarganya sendiri? Ia sangat istimewa, Alaska. Sebagai ayahnya, kau pasti mengetahui fakta bila ia cerdas dan juga tangguh. Arogansi hanyalah benteng pertahanan untuk menyembunyikan luka-luka dalam jiwanya. Ia selalu merasa bisa menaklukkan segala hal, memperlakukan seseorang seenaknya, ataupun berkata apapun yang ia inginkan. Ya, dia sedikit nakal, namun tidak pernah sampai terjerumus pada narkotika ataupun hal lain yang mengancam kehidupan remaja sepertinya. Namun, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga, bukan?" tutur Nina yang mengakhiri perkataanya dengan napas panjang. Ia meneguk kopi lagi. Matanya kini memandang tebing terjal di depan mereka. Bebatuan terjal yang mendaki membuatnya kembali teringat pada kejadian bertahun-tahun lalu. Momen di mana ia sering menangkap putri asuhnya itu menangis seorang diri. Tebing anak itu terlalu tinggi untuk ia panjat seorang diri. Meskipun pada akhirnya, ia berhasil berdiri dengan menanggung luka yang telah menjadi belati. 

    "Dahulu, saat ia masih kecil dan dalam masa perkembangannya, aku sering menangkapnya menangis seorang diri. Meskipun aku sering berada di sisinya, aku rasa diriku tidak akan bisa menggantikan eksistensi ibunya. Kini, ia tidak lagi menangis meratapi takdir. Sebaliknya, perempuan itu mulai marah dan menyalahkanmu sepenuhnya. Bagaimana tidak? Ia melihatmu menekan pelatuk malam itu dengan mata kepalanya sendiri. Ia tumbuh dewasa dengan mengenalmu sebagai pembunuh. Bukan seorang ayah lagi," tutupnya dengan kata-kata yang meluncur begitu saja.

    Ia tumbuh dengan mengenalmu sebagai pembunuh. Bukan seorang ayah. Dua kalimat yang langsung menghujam nadi pria itu. Sarafnya seketika membatu membatu. Dirinya seperti baru dibangunkan oleh harapan yang telah membeku. Kedua mata birunya pun hanya bisa menatap cakrawala yang nyatanya memberikan kehampaan. Dua bola mata yang kosong itu kemudian bergerak mengikuti kepak-kepak sayap gagak di angkasa. Sepasang gagak yang kemudian turun setelah menemukan tempat untuk singgah. Sebatang pinus kokoh tempat mereka pulang dan mengayomi anak-anak mereka. Hal kecil yang seketika membuat pria itu cemburu pada semesta. 

   "Bahkan hewan pun bisa mendapatkannya, mengapa aku tidak? Hal itu pasti yang terlintas di benakmu, bukan? Asal kau tahu saja, Cia juga sering menggumamkan hal yang sama. Kenapa mereka bisa? Kenapa aku tidak? Kalian itu sama-sama tidak bisa membuka mata masing-masing. Namun, yang paling kuherankan adalah dirimu, Sir. Kenapa kau membiarkan keseluruhan pandangan Cia tertutup? Kau tahu maksudku, bukan?" tanya wanita itu yang dengan santainya meneguk kopi robusta. Semilir angin menerbangkan rambut-rambut blondenya, menghalangi pandangannya akan wajah pria yang terkejut itu. Karenina, ia hanya bisa menghembuskan napas berat demi mempersiapkan diri. Ia siap untuk menyibak masa lalu lebih dahulu sebelum Cia mendapatkannya. 

UnfortunateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang