Lembaran Ketiga Puluh Tujuh : Sushi Nyonya Sharon

599 94 27
                                    

     Kantung mata di bawah kerutan dahinya setebal Tembok China. Lalu, dua bola mata dalam kantung itu bergerak turun memandangku yang sempurna tanpa luka. Pria itu menghela napas, mengembuskan kekhawatiran--yang saking beratnya sampai mencengkram keras bahuku. 

    "Kau baik-baik saja? Apa yang terjadi padamu tadi malam? Pikiranku sangat kacau memikirkanmu! Aku minta maaf telah melibatkanmu dalam bahaya!" cemasnya dengan kedua tangan yang hendak memeluk, nyaris merengkuh punggungku sebelum akhirnya jatuh bersama pandangannya yang mengendur.

     Bibirku terkunci rapat begitu melihatnya bertingkah. Bagaimanapun juga, ikatan batin kami telah terjalin. Darahnya mengalir dalam pembuluh-pembuluh tubuhku. Begitu hangat, selalu berdesir tiap kali kecemasannya tertuang.

     Hari ini hari Minggu ketika dermaga yacht tampak ramai, disesaki manusia-manusia kelas atas yang berlibur dengan individualisme mereka sendiri. Angin kapal menggoyang-goyangkan tiang dermaga. Kemeja birunya ikut melambai diterpa angin. Ditambah kaca hitam yang bertengger di hidungnya, penampakannya tak kurang dari seorang turis konglomerat. Tak ada satupun yang mengira dirinya adalah seorang Komisaris Polisi.

     "Tangguhkan saja permintaan maafmu sampai White pergi dari negara ini. Di mana mobilmu? Atau haruskah kucarikan taksi?" tolakku yang segera melepaskan diri dari dekapannya.

     Tanpa banyak berkata lagi, dia sudah berjalan di depan kami. Aku dan Hans hanya mengikutinya menuju sedan hitam yang terparkir. Dalam lima belas menit, sedannya sudah melaju meninggalkan hiruk-pikuk manusia yang ingin berlibur.

     Seperti biasanya, sedan hitamnya melaju sedang. Ia tak banyak bicara membahas misi tadi malam selama menyetir. Hans sempat menawarkan diri menjadi supir, namun ia tegas menolak dan bersikukuh untuk mengendarai dengan kantung mata sehitam kantung mataku.

      "Hans,"

      "Kenapa kau meminta izinku untuk mencintainya? Kalian sudah cukup dewasa, ya meskipun Fresch masih berumur lima belas tahun, kurasa pikirannya melampaui kata dewasa itu sendiri. Ngomong-ngomong, aku belum berterima kasih padamu yang telah peduli padanya. Ayo makan bersama di rumahku setelah ini," ajaknya dengan ekspresi hangat.

     Hans memilih menolak menjawab. Ia hanya menggeleng lemah dengan senyum tipis. Sepasang iris hijaunya ia beranikan untuk beradu tatap dengan Komisaris. Kepalanya kemudian disandarkan lemah, ikut terlelap seperti gadis di sampingnya. Jadilah mereka tertidur di saat atasan mereka yang sama lelahnya menyetir.

     "Haah, dasar anak-anak." Ia menghela napas, lalu melempar senyum pada dua manusia yang sudah tertidur pulas di jok tengah. Apapaun hasilnya, mereka tetap dianggap berhasil sebab rekaman yang diberikan Fresch cukup untuk dijadikan bukti.

     Kau hanya perlu memperhatikannya lebih sering. Mendadak, kata-kata Nyonya Sharon kembali terngiang. Seolah menuruti kata hatinya, pandangan Ren yang semula berfokus pada jalan berbatu perlahan beralih ke belakang--tempat di mana Alluschia asyik mendengkur halus. 

     "Ya ampun, sifat nyonya tua itu tidak berubah sama sekali. Untuk apa aku memerhati..." 

       Gumaman itu terhenti tatkala kedua matanya nyaris terbelalak tak percaya. Pandangannya tidak mungkin salah!

     Gadis itu sudah melepas kesadarannya. Tidurnya yang teramat lelap membuat kebiasaan-kebiasaan lamanya muncul. Terlihat jelas, Amelia mendengkur halus dengan kedua tangan yang saling menekuk, lalu menumpu kepalanya yang dimiringkan ke kaca jendela. Kedua kakinya yang tak beralas juga tak sadar bila sudah naik ke jok, ikut meringkuk hingga lututnya mencium dagu sendiri.

     "Ini..hanya kebetulan, kan?" Ia tercekat. Rasa curiga itu kembali menyusup hatinya, menumbuhkan kembali prasangka setelah tes genetik tidak mampu membuktikannya.

UnfortunateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang