Siang ini Rifya ada di kafe. Dia membolos kelas, moodnya sedang tidak bagus. Tapi dia sudah meminta izin pada dosen Alex. Izin kemalasannya, dan dosen Alex tidak peduli. Dosen Alex hanya mementingkan tugas dan ujian saja, tidak mementingkan kehadiran mahasiswa.
Kebetulan Rifya selalu mengerjakan tugas yang Dosen Alex berikan, juga nilai ujian yang cukup bagus. Rifya tak pernah menyangka kalau selama ini Jan yang paling pintar di kelas. Peringkat pertama semester dua ini di duduki oleh Jan. Semester satu lalu, Jan juga menempati peringkat pertama. Tak disangka selama ini Jan lebih pintar dari Rifya. "Lalu kenapa Jan tidak lulus olimpiade sewaktu lalu?" Batin Rifya. Pikiran itu selalu berputar setiap harinya.
Memang bukan masalah bagi Rifya bila Jan lebih pintar darinya. Hanya saja, agak sedikit aneh menurut Rifya. Dia ingat bahwa Agon pernah berkata kalau Jan adalah anak yang rajin belajar, kenyataannya sekarang jauh berbeda. Jan terlihat pemalas, tapi di akhir semester terbukti bahwa Jan pintar. Aneh.
Rifya kembali memandang laptopnya. Dia sedang sibuk dengan blog-nya yang sudsh terlantar lebih dari setahun. Di sana banyak yang memberi pertanyaan pada Rifya. Tapi Rifya tak sempat menjawabnya. Ada beberapa orang yang menjadi langganan permintaan jawaban. Rifya lebih suka berteman di blognya, berteman dengan blog lain daripada teman kelasnya dulu. Maka dari itu saat High School dia lebih aktif di blog dari pada di dunia nyata.
"Ha! Ternyata benar membolos!"
Rifya mengerjap ke samping. Seorang lelaki bermata hijau duduk di sebelahnya.
"Kau juga membolos" sahut Rifya sambil bergeser sedikit.
Jan mengangguk. "Aku sudah pernah bilang padamu. Kau bolos, aku juga bolos" kata Jan.
"Kau fans-ku"
Jan menyengir, lalu mendorong tubuh Rifya. "Ah, kau bukan artis, Hay!" Lalu memandangi laptop Rifya. "Sedang apa?"
"Tidak penting!" Rifya segera menutup laptopnya.
"Hayden, aku mau Americano. Tapi kau yang bayar, ya..." rayu Jan sambil menyengir, lalu bibirnya mengerucut. "Uangku cukup untuk makan malam nanti"
"Hmm.."
"Yes! Terima kasih, Barbie!" Jan segera memanggil pelayan dan kemudian memesan minuman. Setelah memesan minuman, Jan menatap Rifya yang sedang memandangi salah satu meja pengunjung. "Hay.."
"Apa?" Rifya menoleh.
"Senyum.." Jan lalu tersenyum.
Rifya memandang bibir Jan yang tersenyum, lalu beralih lagi ke minumannya. Jan bertopang dagu memandangi gadis di sebelahnya yang sedang minum milkshake vanilla.
"Hay, kau cantik. Kau juga imut" lalu Jan menyengir.
Jantung Rifya berdegup kencang. Tapi dia meyakinkan itu hanyalah gombalan semata. Jan memang genit padanya, tapi entah dengan gadis lain. Lalu Rifya bersandar di sofa, menenangkan jantungnya yang tengah menggila.
"Kau genit sekali" gerutu Rifya. "Tidak bosan seperti itu terus? Maka dari itu cari pacar, agar tidak genit!"
Jan tertawa. "Untuk apa cari pacar lagi? Kau pacarku, Hay"
"Aku?" Rifya menggeleng. "Aku bukan pacarmu, Jan. Kita tidak pacaran"
"Oh, ya? Hmm.. kalau begitu, mau tidak, kau jadi pacarku mulai hari ini?" Tanya Jan.
Sekarang jantung Rifya menggila. Wajahnya memerah parah. Dia mengalihkan pandangan, menatap minumannya. Sesak di dada mulai terasa. Dia tak mengira Jan akan melontarkan tawaran itu padanya. Gugup, gelisah, takut, bingung dan segala macam yang tidak membuatnya nyaman kali itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE PRINCE OF HURT
RomanceSiapa yang tahu bila takdir mempertemukan kembali Rifya dengan seorang yang tak dia kenal. Tidak tahu nama, asal daerah, dan lainnya. Yang dia tahu hanyalah wajah. Berawal dari pertemuannya di olimpiade fisika dan kemudian bertemu kembali untuk mene...