Pandangan Jan terus mengikuti arah gadis yang baru saja masuk ke ruangannya. Dia melihat gadis itu terlihat pucat seperti mayat. Seketika dia merinding dan bergidik geli.
Gadis itu duduk di sebelah bilik Peter. Kini pandangan Jan teralih menatap komputer. Tapi perasaannya tidak tenang. Mungkin ini kesempatannya untuk bertanya pada gadis itu selagi Peter masih berada di ruangan Tyler.
"Hayden"
"Hmm.." jawab gadis itu.
"Kau baik-baik saja?" Jan menunduk. "Kau tak terlihat baik hari ini"
"Hmm.."
Jan menghela napas. Dia pun memundurkan kursinya dan menatap Rifya di ujung bilik. "Hay, aku serius. Wajahmu pucat sekali. Kalau masih sakit, seharusnya jangan memaksakan berangkat ke kantor" saran Jan.
"Ya"
"Hay-"
"Jan, bisa bantu aku?" Lirih Rifya.
Jan beranjak. Dia berdiri dan segera menghampiri Rifya di bilik ujung. "Bantu apa?" Tanyanya.
"Tolong tekan power di CPU"
Jan mengernyit. Aneh rasanya bila Rifya tak bisa menekan tombol power. Tapi dia tetap mengerjakannya. Dia menekan tombol itu.
"Ha.. Ya, Tuhan.." bisik Rifya pada dirinya sendiri. Dia lalu beralih menatap Jan. "Terima kasih" suaranya parau.
"Ya" Jan mengangguk. Dia menatap gadis itu terdiam tanpa melakukan apapun. "Hayden, kau masih sakit?"
"Tidak" lirih Rifya, suaranya hampir habis.
Jan meraih tangan Rifya. "Hay-"
"Aww.." ringis Rifya. Dia hampir menangis. "Jangan sentuh aku!"
"Oh, maaf" Jan melepas tangannya, lalu melihat tangan Rifya yang bergaris luka -Jan tahu itu bekas tertusuk- dan ada yang memar membiru di dua kelingking dan pergelangan tangan gadis itu. "Hayden, tanganmu kenapa memar seperti itu?"
Rifya menggeleng. "Tidak ada"
Jan berdecak kesal, dia lalu meraih dua tangan Rifya yang memar. "Ini apa?" Bentaknya.
"Aah.. sakiit, Jan.." lirih Rifya. Dia kini menangis.
"Siapa yang melakukan ini padamu?" Tanya Jan. Dia sangat emosi karena dia teringat kemarin Rifya di bawa oleh Eltra dan satu perempuan asing.
"S-semalam aku b-bertengkar dengan Nat-than" lirih Rifya. "Tanganku di jepit pintu oleh Nathan"
Jan terdiam sejenak. Dia memandangi tangan gadis itu yang memar, dingin dan memutih. Lalu dia turun dan berlutut di hadapan Rifya. Dia mengelus lembut kedua tangan itu. Sayangnya gadis itu masih menangis karena rasa sakit di memar itu.
Cukup lama Jan tak memegang jari-jari lentik gadis itu. Kecil, kurus dan indah. Dan sekarang dia tak bisa menggenggamnya karena itu akan menyakiti gadis itu.
"Aku antar kau pulang. Dimana rumahmu?" Tanya Jan.
Rifya menggeleng. "Aku harus bekerja. Aku sudah menelantarkan pekerjaanku" lirih Rifya.
"Hay, dengar.." Jan mendekat. "Ini menyakitkan bagimu. Aku menyentuhnya, kau berteriak. Aku yakin kau tak bisa menggenggam pensil saat ini" kata Jan. "Aku akan meminta izin pada Tyler atau Connor agar kau di beri kesempatan untuk beristirahat"
"Jan, aku tak mau-"
"Aku yang akan mengambil alih semua pekerjaanmu" kata Jan dengan mata yang terlihat yakin. "Aku yang akan mengerjakannya. Dan kau bisa beristirahat tenang di rumah. Mengerti?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE PRINCE OF HURT
RomanceSiapa yang tahu bila takdir mempertemukan kembali Rifya dengan seorang yang tak dia kenal. Tidak tahu nama, asal daerah, dan lainnya. Yang dia tahu hanyalah wajah. Berawal dari pertemuannya di olimpiade fisika dan kemudian bertemu kembali untuk mene...