"Tuan, aku dengar gadis itu akan menikah hari ini. Tepat jam 10 pagi nanti di katedral London" kata lelaki kurus.
"Hmm.. menikah? Dengan siapa?"
Lelaki bertubuh besar mendelik ke jendela. "Aku tidak tahu. Mungkin dengan lelaki yang menyelamatkannya" lalu menunduk. "Tuan, bagaimana dengan nasib Alex?"
"Aku dan gerombolan B akan menangkap gadis itu dan kau, gerobolan A akan mengalihkannya. Alihkan para penjaga, hey, tahu? Gadis itu punya penjaga dimana-mana. Aku rasa dia orang intel"
Lelaki kurus mengangguk. "Mungkin. Dia menyembunyikan Alex. Dia bilang, Alex tidak mati"
"Bagus! Siapkan mobilku sekarang"
"Baik, Tuan" lelaki kurus mengangguk.
💒
Pintu katedral terbuka lebar. Semua orang berdiri menyambut kedatangan Rifya. Dirinya berjalan menuju altar dengan menggandeng lengan Dad. Tak terlukis senyum diwajahnya, hanya ada gugup.
Seorang lelaki dengan setelan jas putih telah menunggunya di depan altar bersama pastur, lelaki itu tersenyum tipis. Semua orang bersorak gembira menatap Rifya.
Sampai di altar, Dad melepas gandengan tangan Rifya dan kemudian berdiri di belakang pastur. Kini Rifya sudah berada di depan Jan. Jantungnya berdegup kencang, tangannya mendingin. Rifya berusaha mengatur napasnya ketika semua orang duduk dan keadaan menjadi hening.
"Bisa kita mulai?" Tanya Pastur.
"Ya" jawab Jan.
Pastur memandangi Rifya yang tak henti-hentinya mengatur napas layaknya kelelahan. Juga kepala tertunduk malu.
"Girl, bisa kita mulai?" Tanya Pastur. "Tolong tatap lelakimu selagi aku membacakan doa"
Rifya menggeleng, dia masih menunduk. "Tidak bisa" bisiknya.
"Hayden, ada apa denganmu? Kau sakit?" Tanya Dad.
Rifya menggeleng, dia menutup matanya dengan tangan yang berbalut sarung tangan panjang. "Aku jantungan bila lihat Jan sekarang" katanya dengan suara lirih.
Mendengar jawaban itu, para hadirin tertawa. Kini wajah Rifya memerah. Lalu tatapannya mengarah ke ibu Jan. Ibu Jan tersenyum, dia lalu melambaikan tangannya pada Rifya. Rasa senang menyelimuti diri Rifya ketika tahu ibu Jan bisa melihat dirinya sekarang. Dia ikut melambaikan tangan dengan ketinggian rendah.
Ibu Jan mengangkat alisnya, dia mengepalkan tangannya untuk memberi semangat pada Rifya. Gadis itu mengangguk, lalu dia menatap pastur.
"Aku siap" kata Rifya pelan.
Kemudian pastur membacakan peraturan beserta doa-doa. Saat penyematan cincin, mereka saling menyematkan cincin ke jari tangan satu sama lain. Setelah itu Jan menggandeng kedua tangan Rifya. Dia menarik napas panjang dan menatap Rifya dengan tegar. Dengan lancar, Jan mengucap janji pernikahan.
"I January Michaelsen, take you Rifya Hayden Hawthorne, to be my wedded wife. To have and to hold, from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness or in health, to love and to cherish 'till death do us part. And hereto I pledge you my faithfulness."
Kemudian pastur menatap Rifya. Semua orang menatap Rifya, Dad dan Jan juga. Mereka menunggu Rifya mengucapkan janji yang sama kepada Jan. Rifya meneguk saliva dengan susah payah, semakin tercekat. Jan menggenggam erat tangan Rifya yang semakin terasa dingin walau berbalut gloves panjang. Jan tersenyum tipis. Rifya menarik napas panjang dan mulai mengucap janji dengan suara lembut.
"I Rifya Hayden Hawthorne, take you January Michaelsen, to be my wedded husband. To have and to hold, from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness or in health, to love and to cherish 'till death do us part. And hereto I pledge you my faithfulness."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE PRINCE OF HURT
RomanceSiapa yang tahu bila takdir mempertemukan kembali Rifya dengan seorang yang tak dia kenal. Tidak tahu nama, asal daerah, dan lainnya. Yang dia tahu hanyalah wajah. Berawal dari pertemuannya di olimpiade fisika dan kemudian bertemu kembali untuk mene...