Jan menatap sebuah pensil yang sedang dia pegang di tangannya. Ada sebuah ukiran tulisan RHH di tengah pensil itu. Dia memutar pensil itu, tak bosannya dia memandangi pensil itu.
"Michael, kau sudah makan?" Tanya ibu.
Jan mengerjap ke ranjang tempat ibunya berbaring. "Ya, aku sudah makan" jawabnya.
"Kau sedang apa, nak? Kenapa diam saja? Kau tidur?" Tanya ibu.
Jan mengubah posisi duduknya menghadap kaca rias milik ibunya. Dia lalu mencoret-coret meja rias milik ibunya yang terbuat dari kayu dengan pensil milik Rifya yang belum di kembalikan. "Tidak. Aku sedang menjaga ibu di sini" jawabnya.
"Kau tidak terdengar baik-baik saja, Michael. Maukah kau cerita padaku, apa yang terjadi?" Tanya ibu lagi, dia mulai duduk bersandar di headboard besi tua.
Jan menghela napas. "Tidak ada. Aku baik-baik saja. Hanya masalah kecil" kata Jan, dia menulis sebuah tulisan di meja itu. "Tidak perlu di bahas"
Ibu berdeham. "Tapi ibu mau tahu apa masalahmu" kata ibu.
"Yeah.." Jan berhenti menulis, lalu menatap dirinya di kaca. "Aku hanya bingung mau minta maaf pada seseorang"
"Minta maaf? Memangnya kau berbuat kesalahan apa, nak?"
Jan mengubah posisi duduknya menghadap ibunya. "Sewaktu itu aku akan pergi dengan Hayden. Tapi, aku justru membatalkannya tanpa memberitahunya" Jan mengetuk pensil itu di meja kayu. "Pasti dia sangat marah padaku" gerutunya.
Ibu mengernyit. "Kenapa kau membatalkannya?"
"Aku buru-buru datang ke sini. Prudence membuatku panik" gerutu Jan. "Aku juga takut. Katanya, ibu terjatuh dan tak bisa melihat. Aku pulang tanpa pamit pada Hayden"
"Hmm.. kalau begitu, kau telepon saja. Kau jelaskan apa yang terjadi, dan minta maaf padanya" kata ibu.
Jan mendengus. "Handphoneku sudah kujual untuk beli tiket pesawat" kata Jan. "Nomor teleponnya ada di handphoneku"
"Michael!" Kesal ibu. "Kau ini keterlaluan! Kenapa harus menjual handphonemu? Ibu sudah bilang, kalau kau butuh uang, katakan pada ibu. Jangan merelakan handphonemu, nak!"
"Hmm.. sudah terjual" kata Jan dengan malas. "Lagipula, mana mungkin aku menghubungi ibu dan lalu minta uang sedangkan ibu sedang sakit? Jahat sekali aku ini"
"Kau ini benar-benar keras kepala, ya" gerutu ibu. "Kalau begini, bagaimana bisa aku menghubungimu jika kau sedang pergi, huh? Ibu tak mau tahu, kau harus beli handphone baru. Ambil uangnya di laci pakaian"
"Bu, sudahlah.. tidak perlu di bahas. Aku bisa pinjam handphone Dizzy" kata Jan, dia menggerutu sendiri. "Lagipula, aku juga tak akan bertemu dengan Hayden lagi. Yang terpenting, sekarang aku sudah bersama ibu. Bisa menjaga ibu tanpa khawatir jauh dari ibu"
"Hayden siapa?" Tanya Ibu. "Sepertinya ibu pernah mendengar nama itu"
Jan menunduk. "Ya, gadis kecil di olimpiade dulu" jawabnya.
"Ah, ibu ingat!" Seru ibu. "Kau jatuh cinta pada gadis kecil itu, lalu kau mundur olimpiade karena tak mau semakin cinta padanya. Hmm.. ya.. ya.. tapi, bagaimana bisa kau-"
"Aku dan Hayden satu fakultas di sana" sela Jan. "Ya, gadis yang sering aku ceritakan pada ibu di telepon saat aku di kampus"
Ibu terlihat senang saat itu. "Astaga, nak. Kau bertemu dengannya lagi? Kenapa kau tak pernah memberitahu ibu kalau gadis itu adalah Hayden?"
"Bu.."
"Ya, sayang?" Ibu mengangkat alisnya.
"Aku mencintai Hayden" Jan terdiam sejenak memandangi jendela. "Dia adalah gadis yang membuatku bahagia di sana. Dia adalah gadis yang sangat pengertian. Dia baik, dia perhatian, dia lucu, dia childish, dia gila, dia.. dia tak seperti gadis-gadis lain"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE PRINCE OF HURT
RomanceSiapa yang tahu bila takdir mempertemukan kembali Rifya dengan seorang yang tak dia kenal. Tidak tahu nama, asal daerah, dan lainnya. Yang dia tahu hanyalah wajah. Berawal dari pertemuannya di olimpiade fisika dan kemudian bertemu kembali untuk mene...