Diary the last 40

240 9 0
                                    

Maaf ada kesalahan update wkwkwk.. harusnya 38 dulu, tapi 39 yang keluar duluan. Efek authornya mabok bareng Antonio tadi malem wkwkwk.. gak deng.. author ini mabok karena diomelin guru fisika, jadinya gak konsen wkwkwk. Maaf juga updatenya jadi gak teratur harinya. Lagi banyak ulangan juga #authorcurhat dah, silahkan dibaca lagi. Maafkan author ya.

"Michael.."

Jan mengernyit, lalu dia kembali mencoba tenang dan kembali terlelap.

"Michael, sudah siang, nak.."

Jan membuka matanya perlahan. Tatapannya lurus menghadap seorang gadis yang terbaring lemah di ranjang dengan selang oksigen. Gadis itu masih tertidur lelap dengan napas tenang.

Lalu Jan bangun dari tidurnya, menatap ibunya yang berdiri di sebelahnya membawa tas kecil.

"Sebaiknya kau mandi dan segera makan" kata ibu, dia menyodorkan tas kecil itu pada Jan. "Ini, aku membawakan pakaian untukmu" ibu membelai rambut Jan. "Ibu pulang, ya. Nanti malam kalau sempat, pasti ke sini"

Jan meraih tas kecil itu, lalu berdiri dan segera masuk ke kamar mandi. Ibu merasa iba melihat anaknya yang terlihat sangat sedih. Karena belum pernah dia melihat anak lelakinya tak menjawab perkataannya.

Jan melepas jas putihnya, juga dasi kupu-kupu yang mencekat lehernya. Lalu menyalakan shower dan membasahi tubuhnya walau masih berbalit kemeja putih dan celana bahan. Dia terdiam sejenak merasakan dinginnya air.

Ingatan Jan tentang hari pernikahannya kemarin membuatnya semakin kesal, sedih dan itu benar-benar menyakitkan baginya. Berkali-kali dia menyibak rambutnya yang basah, berharap mendapat ketenangan. Tapi ketenangan itu tak ia dapatkan juga. Semuanya menjadi keresahan dalam hatinya. Semakin lama, dia mengingat semua tentang dirinya bersama Rifya. Sampai akhirnya menangisi semua yang membuatnya sakit.

Jan menutup matanya. Dia tak tahu bagaimana caranya menjelaskan pada Rifya tentang kejadian saat pernikahaannya itu. Karena dia benar-benar tidak tahu tentang keberadaan ayahnya dan tidak tahu bagaimana bisa ayahnya ada di dalam katedral bersama para gerombolan jahat lainnya.

Kini Jan mencoba untuk kembali tenang. Dia tahu kalau Rifya mencoba kabur karena mengira Jan semua dalang dari diculiknya Rifya. Bagaimanapun, Jan harus tetap menjelaskannya pada Rifya.

🐔

Jan keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk. Dia hanya memakai bawahan celana panjang, tanpa baju. Dia membiarkan dirinya bertelanjang dada.

Tatapan Jan mengarah ke Nathan yang sedang meletakkan sebuah buku di bawah bantal yang sedang di tiduri Rifya.

"Nathan, kau sedang apa?"

Nathan mendelik ke arah Jan, lalu menunduk. "Tidak ada" jawabnya.

Curiga apa yang baru saja dilihatnya, Jan pun menghampiri Nathan. Dia mendelik ke arah bawah bantal. Sebuah buku tebal di sana.

"Kenapa kau meletakkan buku itu di bawah bantal?" Tanya Jan dengan nada dingin. "Kau tahu kakakmu sedang tidur"

Nathan masih menunduk takut. "Rifya selalu berpesan padaku seperti itu" katanya dengan suara pelan.

"Seperti itu?"

"Kalau Rifya di rumah sakit, aku harus membawa dan meletakkan bukunya di bawah bantal yang dia pakai" kata Nathan. "Aku hanya takut bila tak menjalani pesannya, dia akan selalu menggigit tanganku"

Jan menghela napas panjang. "Ambil buku itu! Aku yang akan tanggung jawab bila dia marah. Ambil!" Perintah Jan, dia mengalungkan handuk kecilnya di leher. "Bantalnya jadi terlalu tinggi, lehernya bisa sakit"

THE PRINCE OF HURTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang