Feeling
Tak terasa, Zeta sudah belajar di Gozen selama 3 bulan. 2 minggu lagi, seluruh siswa di Gozen akan menjalani ujian kenaikan kelas. Omong-omong, nilai Zeta pada ujian tengah semester lalu cukup memuaskan. Yah, walau tidak bisa dikatakan bagus tapi nilai melampaui kkm memang benar benar cukup untuk siswa pindahan yang sudah tiga bulan nganggur dirumah.
Kemajuan lainnya adalah, Zeta sudah tidak terlalu sering menangisi sahabatnya yang lebih dulu mendahuluinya untuk mengahadap Tuhan. Alen bersyukur sangat atas perubahan yang satu itu.
"Jadi, Lo mau belajar bareng Gue gak?"
"Ogah, gak serius ntar." Jawab Zeta tanpa mengalihkan perhatiannya dari guru yang sedang menjelaskan sejarah di depan kelas.
"Yah, kan seenggaknya Gue bisa bantu ngejar ketinggalan Lo pas sebelum ke Gozen." Afka belum mengalihkan pandangannya dari teman sebangkunya.
"Af, stop bothering me. Lo gak mau kan kejadian beberapa bulan yang lalu ke ulang?" Kali ini Zeta melirik Afka dari sudut matanya.
"Nanti kita ngomong pas pelajaran nenek kelar."
---
Isi buku pelajaran Biologi yang berkali kali Ia baca tak satupun yang singgah di otaknya. Semua ini gara-gara Rere yang secara mengejutkan berkata seperti itu. Demi apapun Zeta tidak merasa memiliki masalah dengan Rere, kenal saja tidak.
Line!
Ponsel Zeta berbunyi dan segera Ia meraihnya dari nakas.
Yoga Ariya : Kita harus ketemu, demi apapun Gue gak mau liat Lo celaka.
Zeta mengernyitkan dahi, apa maksud Yoga mengirimkan pesan itu. Siapa juga yang akan celaka? Jelas jelas Zeta ada dikamarnya sekarang. Ia lebih memilih mengabaikannya dan melanjutkan belajarnya.
Baru beberapa menit berlalu, ponsel Zeta berbunyi lagi. Kali ini bukan pesan singkat atau notifikasi dari aplikasi di ponselnya. Melainkan panggilan masuk.
Nama Yoga tertera di layar. Zeta malas sekali, tapi daripada terus terusan mengganggu, Zeta mengangkatnya.
"Ze, jangan kemana mana sebelum Gue sampe. Gue di jalan mau kerumah Lo."
Klik.
Zeta mengernyit lagi, apa maksudnya.
Bunyi bel rumah kemudian menggema. Kenapa malam ini semua orang mengganggunya sih. Zeta benar benar menggerutu.
Ketika membuka pintu utama rumahnya, tidak ada seorang pun disana. Zeta menunduk dan menemukan kotak kado di depan kakinya.
Zeta menjerit lalu melemparkan kotak itu saat melihat foto mamahnya yang terkena noda darah.
"Mamahhh!!!"
Zeta terduduk sambil menangis tersedu sedu, Ia memeluk lututnya dan menangis histeris disana.
Baru kali ini Zeta merasa dirinya benar benar dihantui ketakutan.
Saat kesadarannya mulai menghilang, seseorang memeluknya.
---
Afka tidak bisa duduk tenang, seperti ada sesuatu yang mengganggunya. Afka juga tidak tahu persis apa yang mengganggunya sekarang.
"Mah, minuman coklat masih ada gak?" Tanya Afka pada mamanya yang berada di dapur.
"Tuh di rak, tumben minum coklat." Mama Afka menunjuk rak yang didalamnya terdapat coklat yang Afka cari.
"Lagi pengen." Afka berlalu mengambil bungkus minuman tersebut.
Afka kembali ke kamarnya sambil membawa hot chocholatenya, niatnya sih Ia ingin menghabiskan minuman itu di balkon sambil menganggu Zeta di telepon. Tiba-tiba Afka teringat Zeta.
Afka melangkahkan kakinya memasuki kamarnya. Baru beberapa langkah, kakinya terpeleset buku dan minumannya jatuh membasahi bukunya. Afka meraih pecahan gelas di atas buku tersebut. Tapi, matanya malah terpaku pada nama yang tertera pada buku tersebut. Itu bukan bukunya, itu buku Zeta.
Seketika perasaan tidak enak menyergapnya. Afka meraih kunci motor, dompet dan handphonenya lalu berlari menuju garasi.
---
"Zeta kenapa?" Tanya Afka kepada laki laki disebrangnya.
"Ada orang yang ngancem Gue, bawa bawa nama Zeta. Pas dapet teror sms itu Gue langsung kesini." Jawabnya.
Afka melirik ke arah kamar Zeta yang pintunya tidak tertutup. Disana terdapat tante Alen yang sedang menangis di sebelah anaknya yang pingsan akibat teror beberapa puluh menit yang lalu.
"Nama Gue Yoga." Laki laki itu mengulurkan tangannya untuk menjabat Afka.
"Afka." Singkatnya.
"Kebawah yuk, ada yang mau Gue omongin." Afka diam, Ia melirik kamar tersebut. Tante Alen sudah lebih tenang dari sebelumnya. Afka menatap Yoga kemudian mengangguk.
---
Afka duduk di balkon kamarnya, sekarang waktu menunjukkan pukul 2 pagi. Pikirannya melayang tentang percakapannya dengan Yoga beberapa jam yang lalu di rumah Zeta.
"Gue masa lalunya Zeta. Gue yang patut disalahkan atas semua kehancuran Zeta." Ucap Yoga sambil menunduk.
"Dan Gue yakin Lo ada hubungan deket sama Zeta, karena Gue juga yakin kalo Zeta gak akan biarin Gue masuk ke kehidupan Zeta yang sekarang.." Yoga menggantung kata katanya.
"Dengan sangat, Gue titip Zeta ke Elo. Tolong jagain dia selagi Lo bisa, Gue bakal susah banget jagain dia kalau ada penolakan dari dia sendiri. Cuma Lo yang bisa Gue mintain tolong tentang Zeta." Lanjutnya.
"Kenapa Lo segitu yakinnya sama Gue?" Tanya Afka heran.
"Sebelumnya sorry banget, beberapa bulan ini Gue mata-matain Zeta. Juga semua orang di sekitarnya, termasuk Lo."
"Jangan potong omongan Gue dulu." Tahan Yoga saat Afka ingin mengucapkan sesuatu.
"Gue percaya Lo. Dan keliatannya juga Zeta ada perasaan sama Lo."
Mungkinkah Zeta menyimpan perasaan untuknya? Ada secercah harapan pada hatinya, Ia tau ini salah. Tidak seharusnya Afka bahagia atas percakapannya dengan Yoga, Zeta dalam bahaya dan Ia masih sempat bahagia karena ucapan Yoga yang masih berupa dugaan. Tolong ingatkan Afka untuk memperbaiki otaknya.
![](https://img.wattpad.com/cover/58356916-288-k593618.jpg)