Baby

PART 13

Nabila POV

Sedikit lagi. Masanya akan tiba. Masa dimana aku tak lagi berseragam putih abu-abu. Ini adalah hari terakhir tuntas, dan 2 hari lagi soal-soal ujian beserta lembar jawabannya akan menyapaku, menyapa Radit, menyapa Ica, menyapa Shana, dan tentunya... menyapa kami semua. Deg-degan? Ya. Takut? Tentu saja tidak. Kami bahkan sudah memiliki bekal untuk menghadapi berbagai macam soal yang akan menyapa kami esok hari. Ya, beberapa hari ke belakang ini, aku, Radit, Ica dan Shana membuat kelompok untuk belajar bersama. Kadang kami melakukannya di rumah kami masing-masing secara bergilir, Cafe atau dimanapun itu selama tempatnya masih nyaman untuk saling berbagi ilmu. Awalnya agak ragu mengajak Radit untuk bergabung di kelompok kami, tetapi karena Radit tetap kekeuh untuk ingin belajar bersama... why not? Radit's say : "Kita belajar sambil pacaran. Selama cara kita pacaran nggak mengganggu konsentrasi yang lain, kenapa enggak?" Ya, aku tahu, dia semakin sok dewasa sekarang. Selama sering mendapat pencerahan dari Ayah, kurasa... fikirannya semakin sok dewasa. Dia bahkan tak sungkan untuk menegurku jika aku salah, memberiku nasihat dikala egoisku kumat, dan yang lebih membuatku semakin menyayanginya adalah... dia menjadi sensitif tentang masa depan sekarang. Tentangku, tentangnya, dan tentang Keluarga kecil kita nanti. Aku tahu ini masih terlalu dini untuk memikirkannya, tetapi dia sudah membuat rancangan masa depan yang digambar dan dituliskannya di sebuah notebook miliknya. Ovverated? Yes, I think.

Tapi... diantara rasaku yang semakin menyayangi Radit, aku menjadi agak aneh dengan tingkah laku Ubay yang semakin hari semakin membuatku merasa tidak nyaman. Tidak, bukannya aku tak suka jika dia perlahan mulai menyukaiku 'sebagai Saudaranya', tetapi aku merasa tidak nyaman jika dia se-over protective itu padaku. Belakangan ini, entah ini perasaanku saja atau memang fakta, dia menjadi sering menanyakan 'bagaimana kabarku?' saat aku sedang kurang sehat dan 'dimana posisiku?' saat aku sedang keluar dari rumah. Meskipun saat itu aku sudah memberitahunya, memberitahu Ayah, Bunda ataupun Mbok Nah jika aku sedang keluar bersama Radit ataupun bersama Ica dan Shana, dia masih saja sering menanyakannya berulang kali padaku lewat telepon. Dan yang menjadi pertanyaanku adalah "Mengapa dia seperti itu? Apa dia memiliki niat dan maksud lain? Tapi apa? Berhubung karena dia memiliki kepribadian ganda yang sangat sulit untuk ditebak." Ya, kufikir.

"Halo Sayang. Udah lama? Maaf ya telat! Tadi tempat parkirnya full gitu, susah banget buat dapet tempat parkir yang kosong." Sapa Radit sembari mengecup puncak kepalaku dan mengusap rambutku lembut.

"Nggak papa kok Dit. Baru 30 menit kok disini."

"30 menit? Tanpa suara? Haha."

"Kamu tuh ya, udah telat masiiih aja bercanda."

"Supaya kamu nggak tegang dan ninggalin garis menua di sekitar wajah kamu aja Sayang."

Aku tersenyum mendengar ucapannya yang membuatku geli sendiri.

"Kamu udah pesen?" Tanyanya.

"Udah sih, tapi belum dateng pesenennya." Jawabku lalu celingak celinguk mencari sosok Waittress.

"Emang kamu pesen apa?"

"Tadi aku pesen Siroin, Beef Steak, sama Lemon Tea sih. Tapi nggak tau nih makanan aku nyasar dimana sama Waittressnya."

"Itu dia Waittressnya. Mbak." Panggil Radit.

Sang Waittress pun berjalan menghampiri meja kami, lalu Radit mulai menyebutkan pesanannya yang dicatat oleh Waittress itu. Radit memesan Tenderion, Steak Kakap dan Lemon Tea. Setelah menyebut kembali pesanan Radit dan menanyakan tentang pesananku, Waittress itu pun berlalu dari kami. Sekarang, aku dan Radit tengah berada di sebuah restoran Steak yang baru saja buka. Mendengar kata 'baru buka', kalian bisa membayangkan restoran ini penuhnya seperti apa. Bahkan meja dan kursi sudah tak cukup untuk menampung orang yang tengah kelaparan saat ini. Untung saja Radit sudah lebih dulu membooking satu meja untuk kami berdua, makanya kami tak perlu mengantri lagi untuk mendapatkan meja. Tetapi... malah dia yang datang terlambat.