Discleimer : This story and fict is absolutely mine!
Happy Reading!
---------------------------------------------
"Kenapa nggak bilang sih, Man, kalo lo ada latihan hari ini? tau gitu kan gue tadi balik bareng Rike aja. Nyebelin!" Asha mendesis sebal. Perempuan itu masih bersandar pada loker, matanya menatap ke arah lain asal tak menatap lawan bicaranya yang sudah membuatnya kesal. Bibirnya mengerucut dan kedua tangannya terlipat di dada.
Sebaliknya, Manda jusrtu terlihat tak ambil pusing dengan kelakuan Asha. Dia malah sibuk membenahi sabuk hijau karatenya, setelah itu menutup pintu loker dan mengunci. Manda pun berbalik menghadap Asha yang masih menggerutu.
"Ya gue mana tahu ya kalo latihan dimajuin jadi hari ini, lagian kan tadi gue udah suruh lo bareng Neta aja. Gue juga udah bilang lo nggak usah nyusul gue eh malah ke sini," kata Manda sambil memasukan ponselnya ke dalam tas lalu beralih memakai benda berwarna biru itu di bahu kanannya.
"Ya kan gue nggak tau kalo lo ada latihan makanya gue nyusul," Asha berdecak menurunkan kedua tangannya lalu menoleh, "lo juga nggak bilang kan sama gue tadi malah nyuruh gue balik sama Neta, udah tau dia lagi sensi sama gue."
Manda menarik nafas panjang. Dia paham betul kalau Asha akan terus seperti ini; menyangkal kalau ini kesalahannya dan melimpahkan semuanya kepada Manda. Berhubung miss-komunikasi kan memang berawal dari Manda.
"Tadi gue buru-buru kelupaan jadinya,"
"Ya terus?"
"Ya terus apaan?" tanya Manda tidak sabar.
"Ya terus gue balik gimana?"
"Yaampun Sha-" Manda hampir saja meneriaki temannya, sayang saja tak benar-benar dia lakukan. Dia bahkan ingin sekali menjambak rambut Asha kalau tidak ingat yang sedang berdiri di depannya ini adalah karibnya dan Manda sudah terlanjur naksir berat dengan rambut halus milik Asha-yang terlihat sangat indah tanpa perawatan salon.
Jadi, Manda tidak mungkin sampai hati merealisasikan keinginan bodohnya itu. Sayang kalau rusak. Selain itu, dia juga tidak ingin di penjara karena melakukan kekerasan terhadap teman sendiri. Manda sampai meringis membayangkan seandainya dia benar-benar menjadi bagian dari orang-orang jahat yang berada di balik jeruji besi.
Kening Asha mengerut. Dia menatap bingung Manda yang tak melanjutkan ucapannya dan memilih menunggu.
Manda menggaruk ujung hidungnya sejenak sebelum menarik nafas lagi, "Sha, lo itu nggak hidup di jaman batu, sekarang kan kendaraan umum banyak. Gitu aja pake nanya sih!"
"Ya tapi gue nggak mau. Man, lo kan tau gue nggak bisa sendiri," ujar Asha bersikeras.
"Bukannya nggak bisa emang lo aja yang nggak mau bisa. Please ya, Sha. Kejadian itu kan udah lama berlalu lagian nggak semua orang jahat. Iya gue tau lo trauma tapi mau sampe kapan lo kayak gini terus?"
"You were sixteen years old, Revillia. So, be brave please karna sewaktu-waktu lo bakalan sendirian."
Asha terdiam. Ia membenarkan ucapan Manda padanya. Lagian kejadian itu sudah hampir tiga bulan berlalu, kalau dari dalam dirinya tidak ada motivasi untuk berani melawan rasa traumanya sampai kapan pun ia akan seperti ini terus.
Kemana pun dan dimana pun akan bergantung dengan orang terdekatnya. Padahal sewaktu-waktu bisa saja ia sendiri di tengah-tengah orang asing yang pasti Asha tahu bahwa mereka tidak bisa di mintai tolong begitu saja. Dan kalau sudah begitu mau tidak mau ia harus melakukannya sendirian.
"Minta jemput bang Rion aja sih," usul Manda.
"Dia mana mau gue suruh-suruh kayak gitu apalagi dadakan gini," ujar Asha menolak usulan Manda. Mengingat kakak laki-lakinya itu Asha berani bertaruh kalau Rion bakalan milih di suruh jemput Eyang Uti di Malang daripada menginjakan kakinya di sekolah Asha yang katanya horor. Iya, horor sama murid perempuannya maksudnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Feelings
Teen FictionYou just need to understand about these feelings. Copyright© September 2016 by justmyaidenlee