BAB 1 - Bad Day

1.5K 176 159
                                        

Disclimer : This story and fict is absolutely mine!

Happy Reading!

-----------------------------------------

"Woy yang pake Saccharum Lactis siapa gue mau pake?!"

"Heh ini gue duluan yang ngambil-tai lu nyolong aja dari meja gue!"

"Ini siapa yang lagi ngelebur udah cair nih woy!"

"Ihh ini mortir siapa sih nggak langsung di cuci?!"

"Etanol mana etanol yak? Ett dah-Billy lu kalo abis pake ini balikin lagi kek ke tempatnya orang kan juga mau pake!"

"Eh salep gue mana yang udah jadi, tadi disini-anjing itu kan tinggal di etiketin doang!"

Suasana laboratorium resep menjadi gaduh sejak setengah jam lalu, tepat saat empat guru penanggung jawab yang biasa mengawasi jalannya praktek resep harus melakukan rapat bersama Kepala Sekolah di ruangan beliau. Bu Vika-selaku penanggung jawab Lab resep menjadi satu-satunya guru yang mengawasi itu mengurutkan dahi, sudah empat kali wanita berkepala tiga itu menegur. Namun, seolah teguran itu hanya angin lalu dalam telinga murid-murid karena suara beserta kelakuan mereka tak bisa tenang, tak seperti biasa saat ada Bu Gendis-salah satu guru ilmu resep yang galak-mengawasi.

"Hey!" tegur wanita berhijab biru itu untuk yang kesekian kalinya dengan suara lantang mengeluarkan senjata terakhirnya-penggaris kayu berukuran jumbo di pukulkan ke papan tulis yang ada di Lab resep tersebut hingga menimbulkan suara keras yang mampu membuat suasana menjadi senyap seketika.

"Kalian ini kebiasaan ya, sudah di bilangin berulang kali jangan pake suara ngerjainnya masih saja berisik!" katanya sambil memperhatikan anak-anak di setiap meja praktek, berdiri mematung-shock mendengar suara penggaris yang berada dalam pegangan Bu Vika. Pandangan penaggung jawab Lab itu memancarkan kekesalan tingkat nasional serta kelelahan. "Kalian itu sekelas tiga puluh lima anak semuanya bersuara, nggak bisa tenang ngerjainnya. Berapa kali saya harus ingatkan ini Lab bukan pasar kaget! Ngerti nggak?!"

"Ngerti, Bu." Semua anak menyahut tapi ada beberapa anak di antara mereka memilih diam-fokus pada jurnal resepnya. Meskipun keadaan sekarang sudah lebih tenang, ini hanya akan berlangsung selama beberapa menit saja, setelah itu suasana pasar pasti akan kembali.

"Jangan cuma ngerti di mulut, otaknya juga harus ngerti!" kata Bu Vika masih dengan suara lantang. "Kalian udah besar masih saja senengnya berisik, nyari ini teriak, nyari itu teriak. Makanya kalau habis pake bahan di taruh lagi di tempatnya semula, biar temen kalian yang mau pake nggak kesusahan nyarinya. Nggak pake berisik juga!" Bu Vika berjalan ke meja pengawas, meletakkan penggaris yang sedari tadi di pegangnya. Wanita itu kemudian duduk di kursinya.

"Saya pusing denger suara kal-"

"Heh Billy! mana anak timbangan gue yang lima ratus sama lima puluh miligram tadi?!"

"Udah gue taro kan,"

"Mana nggak ada anjing! Lo mah-"

"Adriell!"

"Eh..iya, Bu." Anak laki-laki itu terkesiap mendengar namanya di panggil. Ia pikir sudah menggunakan suara yang paling rendah tapi rupanya masih terdengar juga. Serempak anak-anak di dalam Lab menatap ke arahnya. "Ngomong apa kamu barusan?" selidik Bu Vika dengan tangan terlipat di dada. Anak itu lupa bahwa dirinya baru saja mengumpat di dalam Lab.

"Itu-maaf Bu," ujarnya kemudian menyadari keteledorannya dalam berucap. "Abis anak timbangan saya nggak tau dimana, Bu. Si Billy tadi minjem tapi nggak bener katanya udah di taruh tapi nggak ada di tempat alat praktek saya." Adunya seraya mengerling kesal ke Billy yang ada di sebelahnya. Gara-gara anak laki-laki berwajah arab itu, pekerjaan Adriell untuk menimbang Codein HCL jadi tertunda.

Our FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang